Mohon tunggu...
Juru Martani
Juru Martani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@jurumartani.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pangkat Jenderal, Cara Berpikir Kopral?

18 Juni 2014   13:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:17 3408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14030488081726340566

Pangkat Jenderal adalah tertinggi dalam struktur kepangkatan militer. Seorang prajurit harus menempuh perjalanan karir yang teramat panjang dan berliku hingga sampai dipercaya mengenakan lambang bintang di kedua pundaknya. Di dalam perjalanannya mencapai pangkat tertinggi tersebut, prajurit militer setahap demi setahap naik pangkat sejalan dengan pengalaman, kemampuan dan prestasi yang dimilikinya. Berbagai latihan dan pendidikan khusus kemiliteran harus dijalani, juga setidaknya pernah ikut serta dalam tugas operasi militer sebagai syarat untuk bisa dianugerahi pangkat Jenderal. Sebutan Jenderal juga seringkali digunakan untuk panggilan dinas kepada prajurit militer yang masuk dalam kategori kepangkatan Perwira Tinggi (Pati). Sebagaimana diketahui Pangkat Perwira Tinggi dimulai dari Brigadir Jenderal (BrigJen) berlambang Bintang 1, Mayor Jenderal (MayJen) berlambang Bintang 2, Letnan Jenderal (LetJen) berlambang Bintang 3 dan yang tertinggi adalah Jenderal yang berlambang Bintang 4.

Seorang Jenderal pastilah sudah berusia matang dan memiliki segudang pengalaman dalam dunia kemiliteran, selain itu juga sudah terbiasa menjadi Komandan di berbagai kesatuan. Dengan berbekal pengalaman itulah maka seorang Jenderal secara alami akan mampu berpikir strategis dan rasional.

Namun demikian, dalam suatu kesempatan, mereka mungkin terlupa, atau tak menyadari bahwa dirinya seorang Jenderal. Atau mungkin memang sengaja membuat pernyataan yang tak selayaknya diucapkan, terutama bila sudah ada kepentingan politik yang melatarbelakanginya.

Bila kembali merujuk kepada peran, fungsi dan tugas militer dalam hal ini TNI yang mana sebagai alat negara di bidang pertahanan, menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, maka anggota militer tidak diperkanankan ikut serta dalam arena politik praktis apalagi dalam masa kampanye seperti sekarang ini.

Untuk itu, di berbagai kesempatan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko selalu menegaskan bahwa dalam masa Pemilu ini, posisi anggota militer adalah netral, artinya tidak memihak salah satu pasangan Capres/Cawapres.

Sampai di sini, pernyataan Panglima TNI tersebut tentu dapat diterima oleh semua pihak, sebab memang susuai TuPokSi nya, Militer adalah bergerak di bidang pertahanan dan keamanan Negara bukan untuk mendukung pemenangan Calon Presiden tertentu.

Nah, lalu bagaimana dengan para purnawirawan TNI terutama yang sudah berpangkat Jenderal? Apakah mereka juga harus bersikap netral seperti yang ditegaskan Panglima TNI? Apakah bila seorang prajurit militer sudah pensiun, maka dia diperbolehkan ikut serta ‘bermain’ dalam arena politik praktis? Jawabannya adalah ya, sebab tak ada satu pun aturan perundang-undangan yang melarang para purnawirawan TNI berperan aktif dalam dunia politik, termasuk menjabat sebagai anggota DPR, Pengurus dan pembina partai politik dlsb.

Namun demikian, dalam perjalanan karier politik para purnawirawan TNI, muncul berbagai permasalahan yang sangat mendasar, yaitu adanya sikap dan pernyataan politik yang tidak layak dilakukan oleh seorang Jenderal meski sudah memasuki masa pensiun.

Ada beberapa kasus besar yang bisa dijadikan contoh di antaranya adalah pernyataan terkait pelanggaran HAM, yaitu penculikan aktivis reformasi yang mana ditujukan kepada Capres Prabowo. Semasa masih aktif menjadi anggota militer, tentu merekalah yang mengetahui secara persis apa yang terjadi kala itu, dan taruhlah mereka punya bukti-bukti menurut versi mereka yang membuat Prabowo kemudian harus berhenti dari karier militernya. Namun mereka lupa bahwa negara kita ini berdasarkan atas hukum, bukan atas opini para mantan Jenderal.

Segala perbedaan atau sengketa seharusnya diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, namun bila sudah masuk dalam ranah pidana tentu harus pula diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku, apalagi untuk kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan Prabowo yang kala itu sebagai DanJen Koppassus. Bila dalam ranah militer, tentu juga ada lembaga peradilan yang disediakan, yaitu Mahkamah Militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun