Beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia sudah semestinya tersedia dalam pasokan yang cukup, mudah diperoleh dan tentu dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Apalagi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris, tentu kita memiliki potensi yang besar dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri khususnya beras, tanpa tergantung kepada produk import.
Selama ini, swasembada beras sesungguhnya telah mampu kita capai, namun apa yang terjadi dalam pekan-pekan terakhir di bulan ini, membuat hati kita bertanya-tanya. Harga beras yang melambung tinggi secara ektrim dalam kurun waktu beberapa hari saja, tentu membuat masyarakat kita merasa kurang nyaman, dan semakin was-was terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Bagaimana tidak, harga beras mutu sedang yang banyak dikonsumsi masyarakat yang biasanya dijual dalam kisaran harga Rp. 9.000,-, kini melonjak tajam menjadi Rp. 12.000,- per Kg.
Sesungguhnya apa yang tengah terjadi hingga harga beras tersebut melambung begitu tinggi? Banyak kalangan berpendapat bahwa ini disebabkan faktor musim penghujan, yang menghambat proses produksi maupun distribusi beras dari daerah penghasil sampai kepada konsumen akhir. Adapula yang berspekulasi bahwa kenaikan harga beras akhir-akhir-akhir ini tak lepas dari ulah para mafia beras. Namun pendapat ini tampaknya terlalu prematur, dan terkesan melempar kesalahan untuk menutupi kelemahan sendiri.
Untuk mencari titik terang sejauh mana sebenarnya kondisi pasokan beras di tanah air dalam rangka memenuhi kebutuhan beras nasional, mari kita sedikit bermain data sekunder yang tersedia. Sesuai data dan informasi yang saya himpun, baik dari sumber data yang dikelola oleh BPS (Badan Pusat Statistik) maupun dari sumber informasi lainnya, maka dapat saya paparkan sebagai berikut:
Pemenuhan Kebutuhan Beras Dalam Negeri
Untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan beras nasional, maka kita perlu mengetahui berapa jumlah penduduk di Indonesia saat ini. Saya menemui kesulitan dalam mencari data resmi dari pemerintah, mengenai jumlah penduduk terkini, sebab BPS sebagai sumber data yang bisa dipertanggungjawabkan hanya menyediakan data lima tahunan sejak tahun 1971 s/d 2010.
Namun sebagai pendekatan, dapat kita gunakan asumsi rata-rata pertumbuhan penduduk lima tahunan dari data tersebut yakni sebesar 15 %. Bila jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 lalu adalah 237.641.326 jiwa, maka dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 273,306,187 jiwa.
Sedangkan tingkat konsumsi beras sesuai yang dirilis oleh BAPPENAS adalah sebesar 133 Kg/kapita per tahun. Maka dengan demikian jumlah konsumsi beras dalam negeri adalah sebesar 30,883,599 Ton per tahun.
Apakah pasokan beras yang tersedia telah mampu memenuhi?
Berdasarkan data statistik, hasil produksi tanaman padi dari seluruh propinsi di tanah air adalah sebesar 70,607,231 Ton per Tahun, yang mana sebagian besar (47 %) dihasilkan oleh lumbung-lumbung padi di pulau jawa yaitu sebesar 33,532,302 Ton per tahun.
Tingkat rendemen untuk meperoleh beras dari gabah yang diproses adalah sebesar 62,74 %. Dengan demikian pasokan beras nasional diperoleh 44.298.976 Ton per tahun, sedangkan kebutuhan beras nasional sesuai perhitungan diatas hanya sebesar 30,883,599 Ton per tahun. Artinya bahwa negara kita telah mampu melaksanakan swasembada beras.
Namun mengapa masih juga terjadi kenaikan harga beras yang cukup signifan? Bila hal ini adalah semata-mata akibat ulah dari para mafia beras dengan cara menimbun barang, tentu sangatlah jauh kemungkinannya, sebab dengan adanya tingkat pasokan beras secara nasional yang cukup besar tersebut. apalagi ditunjang dengan persediaan beras di dalam gudang-gudang Bulog maka kemungkinan terjadinya permainan nakal para mafia sangatlah kecil. Pertimbangan lainnya apabila benar akibat ulah para mafia beras, adalah seberapa besar gudang yang diperlukan untuk menimbun beras hingga dapat membuat harga menjadi meningkat begitu tajam?
Oleh sebab itu, yang lebih masuk akal kemungkinannya adalah karena adanya kendala pada proses produksi maupun distribusi beras yang disebabkan faktor musim dan cuaca pada akhir-akhir ini. Persoalan ini tentu sudah semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Apakah dengan terjadinya musim penghujan, pemerintah tidak melakukan tindakan antisipatif? Bukankah sudah biasa setiap tahun terjadi pergantian musim, baik musim kemarau maupun penghujan? Bukankah kita juga telah memiliki gudang-gudang penyimpanan beras yang dikelola oleh Bulog dalam jumlah yang cukup, yang mana juga dapat berfungsi untuk menjaga stabilitas harga beras di pasaran? Mengapa bulog sampai terlambat dalam melakukan operasi pasar hingga harga beras membubung begitu tinggi?
Meningkatkan fungsi pengawasan dengan memanfaatkan kemajuan Teknologi Sistem Informasi
Dengan adanya peristiwa ini, maka dapat menjadi momentum yang sangat penting bagi pemerintah dalam meningkatkan mutu pengawasan khususnya terhadap pasokan beras nasional untuk menunjang stabilitas harga dan volume barang, meliputi proses produksi dan distribusi agar kejadian yang sama tak kan pernah terulang lagi.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini, maka sudah tiba saatnya bagi pemerintah untuk segera membangun sebuah Sistem Informasi Pangan Nasional, yang mana pemerintah secara real time, dapat dengan mudah dan akurat memantau seluruh data terkait penyediaan kecukupan pangan nasional sampai ke pelosok tanah air.
Sehingga dengan demikian, apabila terjadi perubahan musim/cuaca yang cukup ekstrim atau bencana alam sekalipun, maka pemerintah dengan cepat dapat melakukan berbagai tindakan antisipatif demi menjaga stabiltas harga, volume dan mutu barang, tanpa menunggu terjadinya lonjakan harga yang memicu timbulnya keresahan masyarakat.
Demikianlah semoga dapat memberi sumbangan pemikiran.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H