Guubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah mencanangkan pemberian imbalan (remunerasi) kapada seluruh PNS dilingkungan kerja PemProv DKI beberapa waktu lalu. MelaluiPeraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2014 yang ditandatangani pada 29 Desember 2014 dan berlaku mulai sejak awal tahun ini, Ahok bermaksud ingin memberi motivasi kepada seluruh PNS agar lebih produktif dalam bekerja sekaligus untuk menghindari adanya permainan proyek di dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dan memberantas penarikan pungutan liar maupun komisi.
Namun demikian, dengan melihat kinerja secara umum yang telah dihasilkan oleh para PNS DKI, tampaknya Ahok terlalu terburu-buru dengan niat baiknya itu. Disisi lain apakah dengan naiknya penghasilan yang cukup signifikan sesuai dengan yang telah diatur di dalam peraturan Gubernur tersebut, Ahok sepenuhnya yakin bahwa dengan gaji yang cukup fantastis tersebut maka secara umum kinerja para pegawai akan meningkat seperti yang diharapkan termasuk mampu memberantas perilaku korupsi ?
Remunerasi PNS DKI gagasan Ahok itu dinilai oleh beberapa kalangan hanya akan membebani APBD bila tidak disertai dengan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Terkait hal ini, pihak Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi secara resmi juga telah menerbitkan surat yang ditandatangani langsung oleh Menteri  Yuddy Chrisnandi yang pada intinya mengingatkan kepada Ahok selaku Gubernur agar mempertimbangkan kembali kebijakan yang telah diambilnya tersebut sebab berpotensi menimbulkan dampak sosial di lingkungan PNS.
Untuk menilai sejauh mana kualitas kerja secara umum para PNS di lingkungan PemProv DKI, dapat dipertimbangkan dari beberapa parameter sbb :
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas APBD DKI Jakarta 2013
Beberapa waktu lalu telah dilaksanakan audit BPK terhadap efektifitas penggunaan APBD DKI Jakarta untuk periode tahun 2013 yang mana mana di dalam laporannya telah ditemukan adanya potensi kerugian terhadap keuangan pemerintah daerah senilai total Rp. 1,54 Triliun pada 86 proyek di ibukota.
Temuan audit tersebut diantaranya meliputi penyaluran Kartu Jakarta Pintar (KJP) ganda kepada 9.006 penerima senilai Rp 13,34 miliar. Selain itu, hasil audit dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) di sampel sebelas sekolah negeri menunjukkan indikasi kerugian Rp 8,29 miliar.
BOP untuk sekolah swasta juga terindikasi merugikan daerah Rp 2,19 miliar karena ada manipulasi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan ada sekolah yang mendapat BOP walaupun tidak meminta bantuan dana.
Bahkan, program pengadaan bus TransJakarta dan bus sedang di Dinas Perhubungan dinilai tidak sepenuhnya sesuai ketentuan dan diragukan kewajaran harganya senilai Rp 118,40 miliar dan Rp 43,87 miliar.
Selain itu, ada pula keganjilan di Dinas Pekerjaan Umum karena adanya pencairan uang persediaan pada akhir 2013 sebesar Rp 110,04 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 104,62 miliar ditransfer ke rekening kepala seksi kecamatan, suku dinas, dan kepala bidang pemeliharaan jalan.
Oleh sebab itu, opini BPK terhadap keuangan DKI tahun 2013: merosot dari wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan atau WTP DPP pada 2011 dan 2012 menjadi wajar dengan pengecualian.
Penyerapan Anggaran DKI tahun 2014 di bawah 40 Persen
Penyerapan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2014 dinilai tidak cukup memuaskan, sebab realisasinya dibawah 40 % dari total anggaran Rp. 72 Triliun, sementara target penyerapan anggaran tahun ini harus lebih tinggi dari realisasi penyerapan APBD DKI 2013, yang mencapai 84,5 persen. Dibandingkan dengan kinerja pada tahun-tahun sebelumnya, maka penyerapan Anggaran tahun 2014 adalah yang terburuk sepanjang sejarah pemerintahan provinsi DKI Jakarta