Beberapa hari lalu kami (saya & istri) mengantarkan anak ke dokter untuk vaksinasi. Tepat 5 bulan usianya saat itu, ketika jadwal vaksinasi DPT 3 + Hepatitis B + HIB tiba. Dokter anak yang kami kunjungi adalah referensi dari sepupu. Saat itu sepupu kami hanya berkata, “Udah ke dokter S* aja, baik ko”. Agak heran sebetulnya mendengar saran ini, sambil berpikir, “Memangnya ada ya dokter yang jahat? Kalau baik, apa berpengaruh terhadap kesembuhan pasien?”.
Singkatnya, pertemuan pertama dengan dokter S sudah dapat menjawab rasa penasaran kami. Ketika masuk ke ruangannya, Dokter S langsung menyapa dengan ramah dan menanyakan kabar kami (ini levelnya masih biasa menurut kami). Setelah menyampaikan maksud kedatangan, kemudian dokter S mengajak bicara sang anak dan menggendongnya sendiri ke timbangan. Selanjutnya, acara utama, proses penyuntikan vaksin. Buku perawatan anak lalu kami serahkan. Dokter menulis berat, tinggi badan, panjang lingkar kepala, penandaan grafik, dan jenis vaksin yang baru saja diberikan termasuk jadwal vaksinasi berikutnya. Ada yang menarik setelah sesi penulisan tersebut, dokter S mencopot label dari botol kemasan vaksin untuk ditempelkan ke lembaran buku perawatan anak. Dia bilang, “Kalau tulisan saya tidak terbaca, tinggal lihat ini. Soalnya saya juga kadang-kadang sulit membaca tulisan sendiri”, sambil tertawa ringan. Hehehe….
Sepanjang perjalanan, saya jadi ingat dengan konsep Marketing 3.0 nya Philip Kotler & Hermawan Kartajaya yang berprinsip human-centric/human spirit. Berbeda dengan konsep 1.0 yang product-centric dan 2.0 yang consumer-centric. Marketing 3.0 memperlakukan pelanggan bukan hanya sebagai konsumen tapi sebagai manusia multi dimensi yang kompleks. Pelanggan akan memilih penyedia barang/jasa yang memuaskan kebutuhan mereka terhadap partisipasi, kreativitas, komunitas, dan idealisme yang lebih dalam. Menghubungkan dengan dokter S tadi, secara tidak sadar (mungkin) sebenarnya dokter S sudah menerapkan konsep Marketing 3.0. Setidaknya pada dua hal :
- Dokter S membukakan baju dan menggendong anak sendiri untuk diajak bercanda dan ditimbang (meskipun ada suster). Hal ini tentu menimbulkan kesan bahwa dokter tidak hanya bertugas menyuntik vaksin tapi juga melakukan pendekatan/sentuhan personal terhadap pasiennya.
- Dokter S menempelkan label kemasan vaksin ke buku perawatan anak. Hal ini terlihat sepele (karena dokter lain hanya sekedar menuliskan jenis vaksinnya), tapi menurut saya sangat bernilai tambah. Tanpa harus repot-repot menulis dan tanpa keluar biaya tambahan (bagi dokter), informasi tentang vaksin sudah tersedia lengkap. Merek, jenis, kandungan, produsen, sampai ke kode produksi dan waktu produksi vaksin terpampang dengan jelas. Seandainya (meskipun mudah-mudahan tidak terjadi) terjadi apa-apa dengan sang anak akibat vaksinasi, bisa dengan mudah dikroscek melalui label kemasan tadi. Hal ini menunjukkan kreativitas sang dokter serta wujud transparansi dan akuntabilitas terhadap pasien sebagai konsumennya. Adanya penempelan label membuat kita dapat melakukan kroscek terhadap harga vaksin itu sendiri.
Semoga semakin banyak dokter dan penyedia barang/jasa yang menerapkan konsep Marketing 3.0 yang lebih humanis terhadap pelanggannya.
*nama dokter sengaja disamarkan karena takut dianggap iklan. Karena menurut kode etik, dokter tidak boleh beriklan
** mohon maaf jika 2 cara dokter S tersebut sebetulnya sudah banyak dan sudah ada sejak dulu. Harap maklum karena punya anaknya baru, sehingga berhubungan dengan dokter anaknya pun baru ;)
Referensi :
http://www.amazon.com/Marketing-3-0-Products-Customers-Spirit/dp/0470598824
Tulisan ini adalah repost dari http://jurryhatammimi.wordpress.com/2011/01/14/marketing-3-0-dan-dokter-anak/