Pada 6 Januari 1959 warga Bandung kehilangan seorang dokter yang kondang masa itu dr.Mas Haji Abdul Patah. Kepala Jawatan Kesehatan Jawa Barat yang merupakan penggagas Bandung Plan bersama Leimena. Patah lahir di Majalaya pada 1898 dan tamat STOVIA pada 1921, mendapatkan Indisch Art di Surabaya, ditempatkan di Bangli, kemudian bekerja di Jeddah untuk menjaga kesehatan Jemaah haji antara 1925-1932. Dari Jedah, Patah meneruskan pengetahuannya di Amsterdam menjadi Arts. Pada 1935 mendapat gelar doktor dengan disertasi soal kesehatan Jemaah haji.
Patah kemudian menjadi dokter pemerintah di Garut, Purwakarta, Cirebon, Tasikmalaya, terus ke Bandung. Sebagai perencana dan pelaksana Plan Bandung, p royek kesehatan di wilayah Kabupaten Bandung yang meliputi urusan preventif dan kuratif. Patah juga menjadi Kepala Pendidikan Kesehatan Jawa Barat pernah mendidik rupa-rupa seperti bidan, ahli hygenis dan asisten apoteker. Dr.Patah juga salah satu pendiri Unpad bersama dr.Hasan Sadikin, dr. Djunjunan Setiakusumah, dr. Chasan Boesoiri serta sejumlah dokter lainnya mendirikan Fakultas Kedokteran Unpad.
Plan Bandung menurut konsep Leimena-Patah bertujuan memberikan pertolongan sesempurnanya bagi rakyat Bandung. Prinsipnya koordinasi rumah sakit pemerintah dan partikelir di Bandung. Setiap kewedanaan didirikan rumah sakit pembantu di bawah pimpinan juru rawat terpilih dan di bawah penilikan dokter-dokter dari rumah sakit pusat Cara ini memudahkan pertolongan agar pasien tidak terlatar dan supaya pusat tidak menanggung risiko kejadian tempat penuh alias tidak mampu menampung pasien. Bandung Plan ini sebetulnya cikal bakal apa yang kini dikenal sebagai puskesmas.
Di samping membangun sistem kuratif yang murah dan efesien dijalankan sistem preventif yang didasarkan auto aktifitas dan otonomi rakyat di desa, seperti pendidikan hygiene pada rakyat serta mulai masih dalam kandungan hingga tua. Rumah sakit pembantu mengawasi kebersihan rumah rakyat, pengawasan pasar dan warung. Bandung Plan mulai dijalankan sejak Juni 1951 di kecamatan Rancaekek dan Majalengk. Bangunan pertama berikut infrastrukturnya menelan biaya Rp 3,5 juta.
Dr. M. H pernah menulis sejumlah buku. Di antaranya “Ilmu Kuman” yang ditulisnya bersama prof. Dr. Djoebana Wiradikaita dan diterbitkan Kilat Maju di Bandung pada 1958. Laporan lain yang saya temukan ialah yang ditulis jurnalis Pikiran Rakjat pada 6 Februari 1953 berjudul Experimen Pendidikan Guru Perawat ketika Menteri Kesehatan Indonesia waktu itu Leimena bersama dr.Patah (Inspektur Kesehataan Jawa Barat) hadir dalam upacara pemberian ijazah pada sebelas guru perawat, angkatan pertama di Sekolah Pendidikan Guru dan Perawat di Jalan Padjadjaran, Bandung.
“Pendidikan Guru Perawat (hingga waktu itu-penulis) adalah satu-satunya yang baru diadakan di Indonesia. Maksud pendidikan ini ialah melatih para perawat yang terpilih untuk menjadi guru perawat yang kelak akan diberi tugas untuk menjadi guru dalam ilmu perawatan pada kursus-kursus perawtan di tempat diadakan sekolah-sekolah perawat, “ ujar Patah dalam laporan itu.