Kelamaren Toean resident besar sendiri soedah pergi pereksa roema boei di Meester Cornelis dari mana doea orang hoekoeman gantoeng soedah lari, ija itoe pemboenoe jang paling djahat Pitoeng dan Dji-ie, doea-doea-nja asal dari Bekassie. Tapi tiada oroeng policie nanti dapet tangkap pada dia orang, sebab Toean resident soedah djanji oepah f 300 kepada siapa jang bisa tangal dia orang hidoep ataoe mati. Bintang Barat, 21 April 1893
Demikian salah satu berita dari surat kabar yang pernah terbit di Tanah Betawi pada dasawarsa akhir abad ke 19. Sejumlah berita yang saya telusuri di berbagai edisi surat kabar itu menunjukkan bahwa cerita tentang Si Pitung dan Ji’ih bukan merupakan sebuah mitos kepahlawanan berdasarkan cerita tutur, tetapi mempunyai fakta sejarah tertulisnya. Surat kabar itu memberitakan bahwa empat petugas penjara di Meester Cornelis diperiksa karena mereka membantu pelarian dua orang “penjahat” yang paling berbahaya di mata orang-orang Belanda di Batavia pada dekade akhir abad ke 19 itu. Namun pada pemeriksaan lanjutan, hanya seorang di antara empat orang itu dicurigai telah memberikan tali kepada dua orang narapidana itu (Bintang Barat, 22 April 1893). Sayangnya penelusuran saya di surat kabar itu tidak mengungkapkan dengan jelas latar belakang Pitung dan Jii’h. Mereka hanya dituduh melakukan serangkaian pembunuhan dan perampokan di kawasan Kebayoran dan Marunda. Dalam berita-berita di Bintang Barat bahwa Pitung maupun Ji’ih tidak ada ungkapan jelas bahwa mereka adalah orang yang jago berkelahi (jago silat) seperti digambarkan dalam film layar lebar pada 1970-an yang dibintangi almarhum Dicky Zulkarnaen. [caption id="" align="alignnone" width="448" caption="Rumah pitung di Marunda "][/caption] Pitung hanya disebutkan mahir menggunakan revolver dan pistol. Namun Bintang Barat pernah menyinggung ada kepercayaan di kalangan orang Selam (sebutan untuk pribumi yang beragama Islam masa itu) bahwa Pitung mempunyai ilmu kebal dan bisa menghilang. Pitung dan Ji’ih dapat berpindah begitu cepat dari kampung ke kampung yang jaraknya bisa puluhan kilometer. Petualangannya menakjubkan mengingat transportasi masa itu tidak seperti sekarang. Misalnya, Pitung pernah dilaporkan berada di Kebayoran, kemudian dia pindah ke Rawa Belong di Barat Selatan dari Batavia pada Mei 1893 (Bintang Barat 16 Mei 1893). Pada Juni 1893 dia dilaporkan sudah berada di Kampung Koja (Bintang Barat 20 Juni 1893). Tiga bulan kemudian Pitung dilaporkan berada di Tangerang (Bintang Barat, 12 September 1893). Mobilitas Pitung dan Ji’ih tampaknya memang membuat pihak kepolisian Pemerintah Kolonial, termasuk para opas dan para pemburu bayarannya kewalahan. Bahkan terkesan mereka sebetulnya takut berhadapan satu lawan satu dengan dua orang buronan itu. Misalnya saja seorang opas pernah memergoki Pitung berkeliaran di kawasan Kebayoran, tetapi dia lari ketika diancam Pitung dengan revolver (Bintang Barat 16 Mei 1893). Pitung juga pernah disebutkan terlibat baku tembak dengan Demang Mohamad Sleeman. Dalam duel itu Demang ketakutan karena dia tidak bisa memegang pistol dengan baik (Bintang Barat, 20 Mei 1893). Tak kurang 30-40 jawara juga dikerahkan Pemerintah Kolonial memburu kedua orang itu, namun tidak pernah membawa hasil. Usaha Pemerintah Kolonial dengan menaikan uang hadiah penangkapan Pitung hingga F 1000 juga gagal. Pihak kepolisian kolonial bahkan pernah terlihat tidak profesional. Seorang opas dalam sebuah penyergapan malah salah tembak dalam sebuah penyergapan. Yang kena bukannya Pitung, malah peluru yang dilepaskan opas itu menewaskan seorang warga Kampung Kemandoran pada Juni 1893. Akibat kejadian itu warga Kemandoran mengamuk dan minta perkara salah tembak itu diusut (Bintang Barat 21 Juni 1893). Seperti dalam cerita filmnya memang lawan berat Pitung datang dari Schout Tanah Abang bernama Hinne (jabatannya setara dengan kapolsek masa kini). Dia dan aparatnya mulai memburu Pitung dan Ji’ih sejak Mei 1893. Mulanya ia tidak berhasil. Pada Agustus 1893 Ji’ih tertangkap di Kampung Gandaria, tetapi bukan oleh Hinne melainkan kepala kampung setempat. Baru pada 14 Oktober 1893 Hinne dan pasukannnya berhasil menyergap Pitung di Kampung Tomang. Dalam sebuah baku tembak, Pitung terluka. Dia baru meninggal di sebuah rumah sakit di Batavia. Pitung dikuburkan keesokan harinya di suatu tempat yang dijaga ketat kepolisian Batavia. Irvan Sjafari Rvsjafari@gmail.com (Pernah ditulis di Info Kelapa Gading Juni 2003)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H