Seperti Burung Belajar Terbang dengan Sayap Sendiri: Garuda Indonesian Air Ways 1950-1958 (Catatan Awal yang Saya Kumpulkan)
[caption caption="Pramugari Garuda 1950-an"][/caption]
“Mudah-mudahan dengan bertambah besarnja armada udara Garuda Indonesian Air Ways akan dapat lebih giat berusaha menjumbangkan tenaganja untuk memperbesar kemakmuran dalam negara Republik Indonesia.”
Demikian kalimat yang bisa dibaca penumpang dalam buku kecil Convair 240 milik Garuda Indonesian Air Ways (GIA) pada 26 April 1951. Ketika itu seksi perhubungan parlemen dan beberapa awak media melakukan peninjauan kepada seluruh bagian dari maskapai itu.
Pesawat Convair 240 dapat mengangkut 32 penumpang dengan tempat duduk yang empuk dan teraur, berisikan ala-alat yang dapat memasukan 1/2m3 udara setiap menit untuk setiap penumpang. Udara segar yang terlebih dahulu didinginkan disertai alat-alat pengisap udara yang telah terpakai. Convair merupakan buatan pabrik Consildated Vultee, San Diego, California. Pesawat ini digerakan dua motor yang mempunyai kekuatan 2400 PK.
Dalam keadaan normal Convair terbang dengan kecepatan 425 km setiap jam dan terbang dengan ketinggian 4500 m. Sebuah alat istimewa dengan nama drukcabine membuat penumpang seakan-akan berada dalam ketinggian 2500 meter. Pada waktu itu di seluruh Asia Tenggara hanya Indonesia yang mempergunakan pesawat ini.
Kekuatan armada GIA hingga April 1951 sebanyak 38 buah pesawat, di antaranya 22 Dakota, 8 Convair dan dua catalina. Setiap bulan GIA membawa 24 hingga 26 ribu penumpang dan muatan 700.000 kg dan 160.000 kg post. Pelayanan yang dahulu dilakukan oleh KNILM secara berangsur diambil alih sesuai dengan isi kemedekaan. Hingga pertengahan 1951 GIA mempunyai 3800 pegawai, dari jumlah itu sekitra 2500 berbangsa Indonesia. Tetapi pilot, ahli teknik, radio dan pimpinan strategis masih dipegang bangsa Belanda.
“Harus ada usaha yang dijalankan agar para pemuda kita mempunyai minat untuk menjadi pekerja, pemimpin, pengemudi pesawat,” ujar Asrarudin dalam peninjauan.
Sekalipun perintisan ketika bernama Indonesian Airways sudah terjadi sejak 1949 dan sejarah hari jadinya Garuda Indonesian Airways ada perbedaan pendapat dan saya tidak ingin masuk ke situ 1, GIA baru secara resmi didirikan 31 Maret 1950 dengan perbandingan perseroan sebanyak 51% milik pemerintah dan 49% dan dibawa direksi KLM. Dewan direksi diketuai Dr. Van Konijnenburg dengan wakilnya yang diangkat pemerintah Mr. Muchtar. Penerbangan komersial pertama sudah dilakukan dengan pesawat DC-3 Dakota dengan registrasi RI 001 rute Calcutta-Rangoon pada 26 Januari 1949. Pada Januari 1950 GIA mengklaim melayani 25 ribu penumpang, membawa 450 ribu kg barang bagasi, 700.000 kg barang dan 175 ribu kg pos.
Dalam buku Peraturan Penerbangan yang dikeluarkannya GIA melayani rute Jakarta ke Sabang, Kutaraja, Medan, Pekanbaru, Padang, Tanjung Pinang, Singkep, Jambi, Palembang, Bangka, Belitung, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, Tarakan, Denpasar, Makassar, Manado, Waingapu, Maumere, Kupang, Morotai, Ambon, Biak dan Hollandia (Jayapura sekarang). Untuk internasional, GIA melayani penerbangan ke Singapura dan Manila. Harga tiket Jakarta-Medan Rp300 an dan Jakarta-Hollandia Rp780. Sementara untuk penerbangan ke Singapura hanya Rp190 dan ke Manila Rp650. Tarif termahal ialah Sabang-Hollandia mencapai Rp1170.
Pada April 1951 anggota parlemen juga meninjau bengkel-bengkel tempat memperbaiki pesawat Dakota, Catalina, Convair di Kemayoran. Terdapat sebuah poliklinik yang menyelenggarakan pengobatan yang menangani 200 pasien setiap hari. GIA waktu ini hanya mempunyai dua dokter berkebangsaan Belanda dan seorang berkebangsaan Indonesia. Mereka juga meninjau gudang di mana terletak sebanyak 40% suku cadang dan barang. Terdapat rak-rak yang tertata dengan nama hingga mudah dicari ketika dibutuhkan.