Sejak 1950 seperti saya pernah tulis sebelumnya pariwisata di Bali sudah menjadi pariwisata nasional. Namun hingga 1950-an akses ke Bali masih mahal terutama dengan pesawat terbang. Hanya orang-orang Indonesia yang berada yang mampu menjadi wisatawan di Bali. Dari tiga laporan perjalanan dari media berbeda yang saya baca era 1950-an hingga 1960-an terungkap dua di antaranya menggunakan kapal laut yang menghabiskan waktu empat hari, namun biayanya lebih murah. Kesan eksostisme masih ada. Mereka terpukau oleh kuatnya masyarakat Bali memegang tradisi dan melestarikan kesenian mereka. Begitu juga kesan yang didapat dari buku dan brosur wisata. Sepanjang 1950-an hingga 1960-an sejumlah tamu negara yang datang ke Indonesia, menjadikan Bali sebagai agendanya. Di antaranya kunjungan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.
Perayaan tahun baru 1959 di Bali merupakan sejarah tahun baru yang tidak bakal terulang. Sebab pada malam pergantian tahun dari 1958 ke 1959, hadir Presiden Jugoslavia Josip Broz Tito sebagai tamu Presiden Soekarno di Istana Tampaksiring. Tito dan isterinya bersama Bung Karno tidak tidur dan menari bersama. Hadir juga PM Djuanda, Menteri Penerangan Sudibjo, Menteri Negara Hanafi. Tamu negara pulang dengan Kapal Perang Galeb hal yang unik. Sebanyak 48 tembakan meriam berbalas membaut suasana di Teluk Padang meriah. Tito naik sekoci ke kapal perang itu diantar Bung Karno dan pejabat lainnya (Pikiran Rakjat, 2 Januari 1959).
Selain Tito yang berkunjung ke Tampaksiring adalah Presiden India, Rajendra Prasad. Bandung, Yogyakarta lalu ke Bali adalah rute wajib. Namun Bali persinggahan terakhir sebelum pulang menandakan Pulau Dewata ini mulai menjadi bintang pariwisata Indonesia. Berikut berapa laporan perjalanan dan tinjauan buku promosi pariwisata tentang Bali pada era 1950-an.
Reportase Utami Suryadarma: Harmonisasi dan Humanisasi
Merdeka 3 September 1951 memuat laporan perjalanan dari Ny. Utami Suryadarma berjudul “Seni dan Manusia” . Penulis tertarik mengunjungi Pulau Bali terpengaruh reklame dan proganda untuk menarik para pelancong agar mau singgah ke kawasan yang disebut surga terakhir. Utami menyadari bahwa perasaan sebagai bangsa Indonesia tentu akan berbeda dengan wisatawan asing dalam melihat Pulau Bali. Utami di awal tulisannya menyatakan kritis dan tidak akan terpengaruh apa yang diungkapkan dalam reklame wisata.
Kesan pertama dari pelancong ini ialah kecewa, ketika ia melihat pemandangan dari lapangan udara menuju Kota Denpasar. Utami melihat rumah-rumah yang mirip gubug, berdebu dengan pagar batu yang hampir roboh seperti yang pernah ia lihat di kota-kota lain seperti Solo serta Yogyakarta. Hanya saja di Kota Denpasar ia melihat gapura dari batu merah terbelah, serta dari celahnya terdapat pohon kamboja dengan dahan berwarna perak menyangga bunganya berkelompok putih dan kuning.
Setelah cukup lama tinggal perasaan kecewa berubah menjadi kekaguman setelah menyaksikan kesenian dan kebudayaannya. Utami memuji keharmonisan yang ada dalam masyarakat yang abadi.
Harmonis (keseimbangan) timbul dimana ada imbangan-imbangan jang sehat dalam mentjukupi kebutuhan-kebutuhan djasmani dan kebutuhan djiwa sesuatu rakjat. Sistem gotong royong terwujud dalam “bandjar”,mendjamin kebutuhan meteriel rakjat Bali, dan kebudajannja, keseniannja jang tinggi mengisi djiwanja…
Menurut Utami pada masyarakat Barat hal itu tidak terjadi. Masyarakat menjadi pincang karena tumbuh ke arah suatu jurusan saja yaitu pikiran (rasional), namun dunia perasaan diabaikan atau dianaktirikan. Dunia perasaan tumbuh pada masyarakat Timur, namun menjadi pincang karena terjadinya penjajahan hingga akhirnya timbul masyarakat yang tidak harmonis juga.
Keindahan Bali terletak pada seni tarinya. Utami membandingkan antara seni tari Jawa dan snei tari Bali. Tari Jawa adalah sekuntum bunga indah dan halus di masa lampau. Pada 1950-an tari Jawa terdapat di panggung untuk dipertontonkan. Sementara Tari Bali hidup di tengah masyarakatnya. Kecantikan Tari Bali ibarat kecantikan bunga yang tumbuh dalam suatu taman yang nyata. Tari Bali dicintai dan mendapatkan inspirasi dari rakyatnya sendiri. Wanita Bali dalam memilih warna-warna dan dalam menyusun bunga di sanggulnya tampak natural. Menurut Utami hal itu terjadi karena keindahan masih mempunyai arti dalam hidup mereka.
Di perpustakaan nasional saya menemukan sebuah buku saku promosi pariwisata dalam Bahasa Inggris diterbitkan Kementerian Penerangan pada 1951 berjudul Bali Today. Ada beberapa informasi menarik dalam buku saku itu yang membenarkan laporan perjalanan yang diungkapkan Utami Suryadarma. Pada bagian awal dalam buku saku itu digambarkan pernikahan bangsawan antara Anak Agung Gede oka, seorang pangeran dari Ginanjar dengan pengantinnya yang juga disebut dari kalangan bangsawan. Riasan pengantin dalam beberapa foto tampak gemerlap dan unsur-unsur ritual seperti kehadiran pendeta.