Cukup menarik bersamaan dengan digelarnya International People’s Tribunal di Den Haag, sebuah buku berjudul Ayat-ayat yang Disembelih : Sejarah Banjir Darah Para Kyai, Santri dan Penjaga NKRI oleh Aksi-aksi PKI juga diluncurkan di Jakarta pada 10 November lalu. Sidang IPT yang digelar pada 10-13 Nopember 2015, digelar untuk korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada 1965. Adanya sidang itu menimbulkan berbagai reaksi.
Saya mendapatkan buku ini dari seorang kawan dan mendapatkan kesan bahwa kedua penulis ingin mengungkapkan bahwa PKI juga melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat pada umat muslim. Sebanyak 44 cerita tentang kekejaman komunis dan PKI disajikan dalam buku yang ditulis oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon ini . Sebagian besar terjadi pada kurun waktu 1945-1948 dan sebagian lagi pada 1964-1965 ketika PKI sedang jaya-jayanya.
Saya hanya ingin mereview buku ini kelebihan dan kekurangannya dan tidak mau masuk dalam kontroversi momentum rilis buku ini karena bagaimana pun juga kedua penulis memperkaya pandangan terutama dari kalangan generasi yang lahir sesudah peristiwa berdarah itu. Latar belakang Anab Afifi kelahiran 1968 dari keluarga kalangan santri di Madiun, berlatar belakang pendidikan UPN Veteran, peminat sejarah, punya profesi konsultan komunikasi dan Thowaf Zuharon lahir pada 1982 dari keluarga santri NU, alumnus FISIPOL UGM, berlatar belakang jurnalis.
Kelebihan buku ini terletak pada kesaksian lebih dari tiga puluh pelaku sejarah yang menyaksikan (dan mengalami) kekejaman Partai Komunis Indonesia (atau kaum komunis Indonesia). Wawancara dilakukan para penulis mulai di Jakarta, Depok, Solo, Ngawi, Magetan , Takeran, Madiun, Ponorogo, Kediri, Yogyakarta, serta Surabaya hanya dalam waktu kurang lebih dari setahun. Ini yang membuat saya kagum betapa tekunnnya kedua penulis menemukan saksi sejarah yang masih hidup. Bagi saya teknik wawancara untuk kejadian sejarah adalah sejarah lisan atau Oral History, asalkan si pelaku mau dan mampu menceritakannya, serta si pelaku benar-benar hadir dengan mata kepala sendiri maka sumber itu bisa jadi referensi.
Di antara sumber yang diwawancarai para penulis ialah Kyai Zakaria di Takeran untuk tulisan “Muso, Kau Buang Ke Mana Kyai Kami”. Kyai Zakaria berusia 13 tahun ketika Kyai Imam Mursyid Muttaqin, pimpinan Pesantren Sabili Muttaqin Takeran diculik oleh tentara Front Demokrasi Rakyat (PDR) pimpinan Muso pada 17 September 1948. Ceritanya usai shalat Jum’at sebuah mobil memasuki halaman pesantren.
Di Jalan-jalan luar Kompleks PSM Takeran, pasukan mengepung Berjaga-jaga kalau ada perlawanan dari dalam pesantren. Para santri dan murid masih berkumpul di serambi masjid. Kami hanya bisa melihat kyai panutan kami dijemput paksa oleh dua orang PKI, yaitu Camat Takeran dan seorang pimpinan bernama Suhud.
Mereka mengancam. Jika Kyai kami tidak ikut, maka pondok dan masjid kami dibakar. Kami hanya bisa melihat dari kejauhan kyai kami dibawa…(halaman 52).
Zakaria kemudian mengetahui bahwa penangkapan Kyai Imam Mursyid Muttaqin tidak hanya di takeran tetapi juga dari Magetan, Madiun, Ponorogo, dan Ngawi. Beberapa ustad muda dan santri dari PSM Takeran juga dibawa. Mereka digiring dengan tipuan : undangan. Mereka yang dibawa adalah orang-orang yang tidak sefaham dengan komunis,mulai dari camat, pedagang, pegawai dan polisi. Tentara komunis membantai mereka dengan berondongan senapan mesin di Pabrik Gula Rejosari Gorang Gareng dan sebagian lain di Sumur Soco. Di tempat terakhir ini 183 mayat ditemukan, di antaranya 14 kyai dan santri dari PSM Takeran. Namun Kyai Mursyid Muttaqin tidak pernah ditemukan .
Jurnalistik Sejarah atau Sejarah Dibuat Novel?
Gaya penulisan bertutur mirip menulis sebuah novel, mungkin bisa disebut jurnalistik sastra karena pembaca seperti dibawa ke alam berpikir para pelaku sejarah, baik di pihak komunis, mau pun di pihak korban. Di antaranya cerita “ Kutil: penyembelihan ini adalah Gugatan kepada Tuhan” berlatar belakang peristiwa tiga daerah di Pemalang, Tegal dan Brebes dari sudut pandang pelakunya Kutil. Dalam naskah diceritakan Kutil mengakui mengikuti PKI dan instruksi Tan Malaka. Kutil mengakui sejumlah pembunuhan dan pemerkosaan .
Sebagai Kepala Polisi, Bupati Tua kutangkap, kutelanjangi dan kuseret ke dalam penjara. Pejabat pemerintah lain dan polisi kuculik dan kubantai di Jembatan Talang Tegal. Aku pun melakukan penyembelihan kepada Etnis Cina di Brebes, dan perempuan Cina boleh diperkosa… (Halaman 23)