Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

(Review) Ayat-ayat yang Disembelih, Kekejaman PKI dalam Potongan Puzzle Sejarah Lisan

16 November 2015   22:10 Diperbarui: 16 November 2015   22:45 6377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cukup menarik bersamaan dengan digelarnya International People’s  Tribunal di Den Haag, sebuah buku berjudul  Ayat-ayat yang Disembelih : Sejarah Banjir Darah Para Kyai, Santri dan Penjaga NKRI oleh Aksi-aksi PKI  juga diluncurkan  di Jakarta pada 10 November lalu. Sidang  IPT yang digelar   pada 10-13 Nopember 2015, digelar untuk korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada 1965.  Adanya sidang itu  menimbulkan berbagai reaksi.

Saya mendapatkan buku ini dari seorang kawan  dan mendapatkan kesan bahwa kedua penulis  ingin mengungkapkan bahwa PKI juga melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia  berat pada umat muslim.   Sebanyak 44 cerita tentang kekejaman komunis dan PKI disajikan dalam buku yang ditulis oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon ini .  Sebagian besar terjadi pada kurun waktu 1945-1948  dan sebagian lagi pada 1964-1965  ketika  PKI  sedang jaya-jayanya. 

Saya hanya ingin mereview buku ini  kelebihan dan kekurangannya dan tidak mau masuk dalam kontroversi  momentum rilis buku ini  karena bagaimana pun juga kedua penulis memperkaya pandangan  terutama dari  kalangan generasi yang lahir sesudah peristiwa berdarah itu.  Latar belakang Anab Afifi kelahiran 1968  dari keluarga kalangan santri di Madiun, berlatar belakang pendidikan UPN Veteran, peminat sejarah,  punya profesi  konsultan komunikasi dan Thowaf Zuharon  lahir pada 1982 dari keluarga santri NU, alumnus  FISIPOL UGM, berlatar belakang jurnalis.

Kelebihan buku ini  terletak pada kesaksian lebih dari tiga puluh pelaku sejarah yang menyaksikan (dan mengalami)  kekejaman   Partai Komunis Indonesia (atau kaum komunis Indonesia).   Wawancara  dilakukan para penulis  mulai di Jakarta, Depok, Solo, Ngawi, Magetan , Takeran, Madiun, Ponorogo, Kediri, Yogyakarta, serta Surabaya hanya dalam waktu kurang lebih dari setahun.  Ini yang membuat saya kagum betapa tekunnnya kedua penulis menemukan saksi sejarah yang masih hidup.   Bagi saya teknik wawancara  untuk kejadian sejarah adalah  sejarah lisan atau Oral  History, asalkan si pelaku mau dan mampu menceritakannya, serta si pelaku benar-benar hadir dengan mata kepala sendiri maka  sumber itu bisa jadi referensi.

Di antara sumber yang diwawancarai para penulis ialah Kyai Zakaria di Takeran untuk tulisan “Muso, Kau Buang Ke Mana Kyai Kami”. Kyai Zakaria  berusia 13 tahun ketika Kyai Imam Mursyid Muttaqin, pimpinan  Pesantren Sabili Muttaqin Takeran diculik  oleh  tentara Front Demokrasi  Rakyat (PDR) pimpinan Muso pada 17 September 1948. Ceritanya   usai shalat Jum’at  sebuah mobil memasuki halaman pesantren.

Di Jalan-jalan luar  Kompleks PSM Takeran, pasukan mengepung  Berjaga-jaga kalau ada perlawanan dari dalam pesantren. Para santri  dan murid masih berkumpul di serambi masjid.  Kami hanya bisa melihat kyai panutan kami  dijemput paksa oleh dua orang PKI, yaitu Camat Takeran  dan seorang pimpinan bernama Suhud.

Mereka mengancam. Jika Kyai kami tidak ikut, maka pondok dan  masjid kami dibakar. Kami  hanya bisa melihat dari kejauhan  kyai kami dibawa…(halaman 52).

Zakaria kemudian  mengetahui bahwa penangkapan Kyai Imam Mursyid Muttaqin  tidak hanya di takeran tetapi juga dari  Magetan,  Madiun,  Ponorogo,  dan Ngawi. Beberapa ustad muda  dan santri dari  PSM Takeran  juga dibawa.  Mereka digiring dengan tipuan : undangan. Mereka yang dibawa adalah orang-orang yang tidak sefaham dengan komunis,mulai dari camat, pedagang,  pegawai dan polisi.   Tentara komunis membantai mereka dengan berondongan senapan mesin  di Pabrik Gula Rejosari Gorang Gareng  dan sebagian lain di  Sumur Soco.  Di tempat terakhir ini 183 mayat ditemukan, di antaranya 14  kyai dan santri dari PSM Takeran.  Namun Kyai Mursyid Muttaqin tidak pernah ditemukan   .                                                                                  

Jurnalistik Sejarah atau Sejarah Dibuat Novel?

Gaya penulisan  bertutur mirip menulis sebuah novel,  mungkin bisa disebut  jurnalistik sastra karena pembaca seperti dibawa ke alam berpikir para pelaku sejarah, baik di pihak komunis, mau pun di pihak korban.  Di antaranya cerita “ Kutil: penyembelihan ini adalah Gugatan kepada Tuhan”  berlatar belakang  peristiwa tiga daerah di Pemalang, Tegal dan Brebes dari sudut pandang pelakunya Kutil.  Dalam naskah diceritakan Kutil mengakui mengikuti PKI  dan instruksi Tan Malaka.  Kutil mengakui sejumlah pembunuhan  dan pemerkosaan .

Sebagai Kepala Polisi, Bupati Tua kutangkap, kutelanjangi dan kuseret ke dalam penjara. Pejabat pemerintah lain dan polisi kuculik dan kubantai di Jembatan  Talang  Tegal.  Aku pun melakukan penyembelihan  kepada Etnis Cina di Brebes, dan perempuan Cina boleh diperkosa… (Halaman 23)                

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun