[caption id="attachment_399774" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu poster 2014 (kredit foto Facebook 2014)"][/caption]
Seorang ibu menemukan singkong di tanah dan kemudian memakannya. Ibu itu kemudian ditangkap karena dituduh mencuri, walau ia beralasan bahwa singkong itu sudah tergeletak berhari-hari di tanah dan ia lapar. Kebun singkong itu ternyata milik anaknya sendiri. Dia dituntut Rp10 juta. Menurut kamu siapa yang salah? Kalau kamu jadi hakim bagaimana? Kira-kira demikian pertanyaan Khrisna Dorojatun (Donny Damara) pada Ricky Bagaskoro (Risky Nazar). Remaja yang masih duduk di bangku SMA ini menjawab: ibu itu tetap salah. Ibu itu tetap divonis, tetapi tuntutannya dikurangi. Berkat jawaban itu Khrisna Dorajatun bersedia membela ayah Ricky, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), calon presiden yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap seorang pejabat keuangan di sebuah apartemen. Tanya jawab itu merupakan salah satu dialog yang menggambarkan carut marutnya dunia hukum dan politik Indonesia dalam film “2014” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra. Pertanyaan itu kemudian keluar di adegan lain menjelang klimaks cerita.
Ceritanya berfokus pada tokoh Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar) siswa SMA tingkat akhir harus memilih mengejar mimpinya menjadi pengajar bagi anak-anak terlantar atau harus mengikuti keinginan ayahnya, Bagas Notolegowo, untuk meneruskan pendidikan setinggi-tingginya. Bagas berharap Ricky akan mengikuti jejaknya menjadi seorang Politikus. Bagas sendiri adalah seorang ayah yang sedang berjuang menjadi presiden Indonesia periode 2014-2019 menggantikan Presiden Jusuf Syahrir (Deddy Sutomo). Dia harus bersaing dengan dengan kandidat lainnya Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) dan Syamsul Triadi (Akri Patrio). Cara Ricky menerangkan di depan kelas dalam Bahasa Inggris tentang kebebasan berpendapat yang tidak basa-basi: bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia itu tidak ada, karena ditentukan uang dan kekuasaan: like father, like son.
Film ini dibuka dengan narasi debat capres, blusukan Bagas dengan baju kotak-kotak di pasar, kemudian cerita menukik tajam dengan jebakan buat Bagas untuk dituduh sebagai pelaku pembunuhan, dan dia menolak pengacara yang ingin ambil untung cukup menarik. Hingga akhirnya Ricky menemukan sebuah buku yang ditulis Khrisna Dorojatun seorang mantan pengacara idealis karena membela aksus yang menyangkut kemanusiaan untuk menjadi pembela ayahnya. Agar ada bumbu Khirsna mempunyai seorang putri bernama Laras (Maudy Ayunda) yang sebaya dengan Ricky. Tidak apa. Film Hollywood juga banyak seperti ini agar ada unsur romantis dan berharap menarik penonton remaja tentunya. Sekalipun saya ragu apakah semua remaja bisa menangkap makna film ini. Ada pertanyaan kecil juga di hati saya: mengapa harus anak SMA, bukankah anak Bagas juga bisa anak kuliahan agar lebih kuat sebagai tokoh yang harus terlibat intrik polirik?
Di barisan penegak hukum ada polisi bernama Astri (Atigah Hasiholan) yang bukan hanya harus mempertaruhkan nyawanya mengungkap kasus ini, melundungi keluarga Bagas, tetapi juga menghadapi kendala di internal kepolisian yang ditekan oleh kekuatan ayng lebih besar. Bahkan Bagas sendiri nyaris terbunuh di penjara oleh orang yang menyamar menjadi polisi. Cerita terus mengalir ketika Ricky dan Khrisna menjadi target pembunuhan.
Dari segi gagasan film ini patut diapresiasi dan cukup berat isinya. Dialog-dialognya harus disimak dan sebaiknya menonton dalam keadaan pikiran segar. Pernyataan Bagas cukup berat tenatng bedanya politisi dan negarawan. Politisi hanya memikirkan pemilu berikutnya dan negarawan memikirkan generasi berikutnya begitu telak menyindir situasi politik Indonesia kontemporer. Pernyataan Krishna bahwa ada yang lebih tinggi dari Presiden menjadi lawan ayahnya, Ricky cukup membuat saya menjadi penonton gentar terhadap politik. Tampaknya Hanung dan rekannya sudah bisa sejajar dengan Hollywood dengan budget dan teknologi yang masih tertinggal, tetapi ada upaya maksimal.
Sinematografinya juga menunjukkan kepiawaian Hanung Bramantyo dan Rahabi Mahendra bertutur runtut termasuk juga adegan laga, baku tembak, kebut-kebutan yang tidak berlebihan hingga klimaks cerita. Sekalipun terdapat beberapa lubang dalam cerita: misalnya bagaimana seorang anak SMA seperti Ricky dengan mudah menemukan dokumen rahasia untuk pengungkapan kasus ayahnya yang mengantarkan dirinya berhadapan dengan seorang pembunuh bayaran yang berbahaya: Satria (Rio Dewanto). Begitu bodohnya konspirasi tingkat menyimpan perintah rahasia di dalam flash disk dan ditinggalkan pula di ruang manajemen apartemen. Direkrut dari mana satpam apartemen berkelas begitu mudahnya meladeni para banci?
[caption id="attachment_399775" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu adegan 2014 (Kredit foto Facebook 2014)"]
Adegan lain yang menarik ialah ketika Laras mampu menembak Satria tetapi tidak akurat masih masuk akal. Saya masih melihat ada foto Laras dan ayahnya sedang latihan menembak dipajang di ruang tamunya. Perkelahian antara Astri dan Satria benar-benar mengagumkan. Di luar film keduanya adalah suami dan istri, tetapi dalam “2014” mereka bisa menunjukkan pertarungan hidup dan mati. Adegan lain yang menyentuh ketika Laras menemukan ruang tamu rumah ayahnya berantakan dan ada Ricky duduk terdiam. Musik mengalun dan tangis Laras tumpah ketika tahu apa yang terjadi pada ayahnya. Hanung dan Rahabi berhasil mengemasnya tanpa menjadi adegan mellow ala sinetron Indonesia saat ini.
Kecuali Rizky Nazar yang kadang tampak kaku, seluruh bintang bermain apik. Ray Sahetapy, Rudy Salam tidak usah ditanya karena mereka menunjukkan kelasnya. Donna Harun bisa keluar dari kharakter ibu-ibu di sinetronnya menjadi isteri politisi yang menghadapi cobaan dengan sikap sewajarnya. Maudy Ayunda menurut saya “naik kelas”di ajjaran aktris Indonesia karena cukup meyakinkan menjadi anak seorang pengacara idealis: pintar bahkan sosoknya dalam satu adegan bisa lebih tegar dari Ricky. Akri Patrio sebagai Syamsul Triadi tidak ada lucunya sama sekali bisa menjadi politisi. Mungkin kehadiran dimaksudkan untuk komikal politik dan bukan melawak. Untuk itu Hanung dan Rahabi juga berhasil. Saya juga cameo-cameo polisi tidak berlebihan, tidak harus heroik, bisa kalah dan di dunia nyata juga begitu. Saya juga suka Hanung menggunakan cameo anchor televisi sebenarnya, para pendemo yang begitu membuat seperti menonton dokumenter.
Keseluruhan saya menyambut baik film ini tema yang langka dan begitu keluar dari bioskop memberi makna yang mendalam bahwa apa yang muncul di media belum tentu kenyataan sebenarnya, tetapi sebaliknya media mainstream dan media sosial tetap merupakan harapan untuk melakukan perlawanan terhadap kezhaliman . Film “2014” dengan tagline: Siapa di Atas Presiden, seolah memberikan pesan kalau tidak siap mental jangan masuk dunia politik karena yang dihadapi tidak bisa ditebak.
Judul film : 2014
Sutradara : Hanung Bramantyo, Rahabi Mahendra
Bintang : Ray Sahetapy, Rizky Nazar, Maudy Ayunda, Donny Damara, Rudy Salam
Rated : ***
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H