[caption caption="Pemilihan Miss Indonesia 2015 (kredit foto www.tribunnews.com)"][/caption]
Kontes ratu-ratuan dan kontroversinya bukan hal yang baru di Indonesia. Pada 1950-an ada rencana menyelenggarakan Miss Pekan Raya Jakarta tetapi batal, karena dapat tantangan bukan saja dari kelompok Islam, tetapi juga organisasi perempuan konservatif nasionalis seperti Perwari, Wanita Katolik bahkan juga kelompok kiri. Berita-berita tentang Miss Universe atau Miss sejenis berapa kali jadi headline surat kabar era itu, tetapi tidak banyak berpengaruh di kalangan orang Indonesia. Kecuali mungkin bagi masyarakat warga Belanda yang masih banyak di Indonesia pada 1950-an, terutama diKota Bandung.
Kalau saya simpulkan penentang acara Miss Jakarta waktu itu ada dua arus besar argumen mewakili dua “ideologi”, kelompok Islam karena soal aurat dan bertentangan dengan syariat, tetapi kelompok lain menggugat soal kepatutan dengan budaya Indonesia dan tentunya anti budaya kapitalisme. Menarik di era itu kalau kelompok Islam dan komunis bertengkar soal politik dan bisa saling bunuh untuk itu, tetapi untuk menentang kontes ratu-ratuan mereka kompak (juga terjadi ketika demonstrasi menentang dansa melibatkan unsur lintas agama, ideologi dan golongan ).
Bagaimana dengan pemerintah? 11/12 (kata bahasa sekarang) Presiden Soekarno yang dasarnya memang anti Barat tentunya termasuk juga di pihak para penentang. Begitu juga parlemen -masa itu era demokrasi parlemen, tak satu pun partai yang setuju acara ratu-ratuan. Semangat anti kolonialisme,impreliasme budaya masa itu begitu gencar. Apalagi irian Barat masih di tangan Belanda dan bisa dituduh mempromisikan budaya imprealis-kolonialisme, ya, menyerahlah panitya.
Pada akhir 1950-an di Kota Bandung diselenggarakan kontes mengendarai skuter khusus untuk perempuan tanpa tantangan. Sekalipun itu sebetulnya kontes kecantikan plus keterampilan. Kritik hanya pada peserta yang dianggap berbusana tidak pas dengan warna skuternya. Pada perkembangannya kontes ini menjadi Ratu Vespa pada 1960-an, embrio kontes kecantikan. Namun waktu itu kontes kecantikan mewakili perorangan bukan daerah.
Kontes kecantikan Ala Indonesia Versus Lisensi Asing
Setelah runtuhnya Orde Lama, kontes ratu-ratuan marak sejak 1960-an akhir. Bukan saja ratu-ratuan tetapi majalah hiburan dengan cover perempuan dengan pakaian seksi tumbuh bak jamur di musim hujan. Pengaruh budaya popular dari negara lain, terutama Amerika Serikat dan Prancis masuk dengan deras melalui film, media cetak. Tetapi di sisi lain muncul gagasan kompromi, kontes ratu-ratuan ala Indonesia . Idenya perempuan cantik dengan kecerdasan menjual pariwisata Indonesia.
Penggagasnya antara lain Ali Sadikin, mulanya dengan Miss Jakarta kemudian menjadi None Jakarta dan akhirnya awal 1970-an menjadi Abang dan None Jakarta karena menyertakan peserta dari kalangan pemuda. Misinya sama: mempromosikan pariwisata. Kontes serupa diikuti daerah lain,munculah Mojang dan Jajaka dari Bandung, Bujang dan Dara Riau , Cak dan Ning Surabaya.
Dari segi perempuan beauty terakomodir, brain dapat (pasti harus punya pengetahuan dan berbahasa asing untuk jadi duta wisata), behavior pasti harus mereka punya dan terhindar dari tudingan eksplotasi perempuan karena ada pasangan laki-lakinya. Mereka juga membawakan gaun malam, tetapi juga pakaian adat, bisa berbahasa asing, tetapi juga mahir bahasa daerah. Tidak ada resistensi serius terhadap kontes jenis ini hingga kini. Bisnis pun dapat karena sponsor bisa masuk. Karir? Wah alumni Abnon, Moka juga bisa dapat tiket ke dunia hiburan, pengusaha, manajer, bahkan politik (tanpa harus ikut ajang lainnya seperti Puteri Indonesia).