Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Wartawan Indonesia Unjuk Rasa 5 Agustus 1953: Menuntut Hak Ingkar

9 Februari 2016   20:10 Diperbarui: 26 Februari 2016   04:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wartawan Indonesia  pertama kali  mengadakan unjuk rasa bukan untuk menuntut kesejahteraan, tetapi menuntut haknya yang terkait dengan kebebasan pers. Di antaranya   Hak Tolak   atau  hak ingkar/hak dimana  wartawan karena profesinya,  menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.  Rabu, 5 Agustus 1953 pukul 9.30 aksi unjuk rasa ini dimulai dengan berkumpulnya sekitar seribu wartawan di depan Gedung balai Wartawan Jakarta.

Para jurnalis ini datang dari Persatuan Wartawan Indonesia Kring  (Cabang ) Jakarta, yang diperkuat oleh Serikat Perusahaan Surat kabar (SPS), Persatuan Wartawan Tionghoa, Reportersclub,  para mahasiswa Akademi Wartawan .  Ikut berunjukrasa para wartawan dari  kota-kota lain seperti  Bandung, Medan, dan Surabaya.  Ketua panitya aksi  unjuk rasa wartawan itu  adalah Mochtar Lubis, pimpinan Indonesia Raya.   

Pukul 10.00 para demonstran bergerak menuju Gedung Kejaksaan Agung. Rombongan demonstran ini didahului  serombongan pengendara sepeda motor. Berjalan di belakang pengendara motor, Asa Bafaqih yang diapit oleh dua puteri mahasiswi Akademi Wartawan.  Asa Bafaqih, salah satu pimpinan Kantor Berita Antara waktu itu, serta salah seorang wartawan yang pernah ikut menyebar berita tentang Proklamasi  Kemerdekaan RI pada awal kemerdekaan. Kelahiran 18 Desember 1918 ini adalah editor harian Pemandangan sejak masa Kolonial (1933-1938).      

Para wartawan diterima oleh Jaksa Agung.  Mereka melanjutkan perjalanan ke Gedung Parlemen  dan diterima oleh Mr. Sartono.  Sesudah selesai kunjungan pada Ketua Parlemen, para jurnalis bergerak ke Gedung  Dewan Menteri di Pejambon.  Wakil Perdana Menteri Mr. Wongsonegoro,  Zainul Arifin, Menteri Kehakiman Mr. Djodi Gondokusumo, serta Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan Ruslan Abdulgani.   

Para wartawan memprotes tuntutan jaksa terhadap Asa Bafaqih yang dituntut Kejaksaan Agung karena menolak menyebutkan  sumber beritanya  mengenai  rencana penanaman modal asing baru  yang dimuat di “Harian Pemandangan” 18 Maret 1953  dan rancana gaji baru bagi pegawai negeri di harian Pemandangan 21 Agustus 1953. Kabinet Wilopo menuding   Pemimpin Redaksi “Harian Pemandangan”, Asa Bafaqih  membocorkan rahasia negara melalui sejumlah pemberitaan tentang rencana pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri dan membuka investasi asing bagi 21 jenis industri baru.  Rupanya pemerintah waktu itu belum terbiasa menghadapi hak merahasiakan narasumber wartawan. 

Dalam demonstrasi  itu para wartawan juga memprotes perlakukan terhadap wartawan A.A, Johansyah  yang menulis di “Harian Tugas”,  Balikpapan diperlakukan seperti kriminal.  

Tuntutannya :

Pemerintah membatalkan penuntutan terhadap Asa Bafaqih.
Pemerintah mengoreksi perlakuan tidak selayaknya pada wartawan.
Agar pemerintah memberi jaminan akan memberikan perlakuakn selayaknya terhadap wartawan.
Agar pemerintah memperhatikan kemerdekaan pers dan berbicara.
Agar  pemerintah mengakui Hak   Ingkar  (verschoningsrecht) wartawan.
Agar pemerintah dam parlemen mempercepat terbentuknya Undang-undang Pers yang menjamin hak-hak kemerdekaan pers dan bicara.
Agar pemerintah segera menghapuskan undang-undang kolonial yang merupakan ranjau pers.
Agar pemerintah sebelum terbentuknya undang-undang pers dan penghapusan undang kolonial itu, telah menjalankan kebijaksanaannya yang sesuai dengan dasar-dasar kemerdekaan pers dalam negara merdeka.
 

Para demonstran melihat bahwa alasan penuntutan khususnya terhadap Asa Bafaqih  adalah ancaman langsung pada kebebasan pers.  Tuntutan itu didasarkan pada undang-undang kolonial  yang seharusnya sudah dihapuskan.  Akibat tuntutan jaksa ini memaksa wartawan memperkosa kode etik jurnalistik.

Jaksa Agung  Suprapto menanggapi tuntutan wartawan  menyebutkan sebagai jaksa agung dalam  menjalankan tugasnya selalu memperhatikan kepentingan negara.  Jaksa Agung Suprapto memperingatkan pemerintah  telah meminta kepadanya  agar mengambil tindakan seperlunya mengenai soal tersebut.  Suprapto mengatakan bahwa ia belum mengambil suatu tindakan dan ia masih mengambil pertimbangkan segala sesuatu lebih lanjut.

Mr. Wongsonegoro sebagai wakil pemerintah  dalam kata sambutannya antara menuturkan bahwa peristiwa ini mendapat perhatian pemerintah.  Dia mengakui Hak Kemerdekaan Pers  salah satu segi demokrasi. Kemerdekaan pers adalah bagian dari hak asasi manusia.  Wongsonegoro berjanji bahwa masalah  ini akan ditinjau oleh kabinet baru  (Perdana Menteri pada waktu itu Ali Sastroamidjojo).  Menteri Kehakiman Mr. Djodi Gondokusumo malah menyebutkan bahwa dirinya pernah jadi wartawan “Pemandangan”  antara 1935-1940.  Ruslan Abdulgani menyebutkan pers tidak bisa dilepaskan dari perjuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun