[caption caption="Adegan dalam Joy (kredit foto www.mirror.co.uk)"][/caption]
Joy Mangano tokoh dalam film “Joy “sama tangguhnya dengan Katniss Everdeen “The Hunger Games” ketika dimainkan oleh seorang Jennifer Lawrence. Bedanya kalau Katniss adalah kombatan perempuan yang berjuang melawan tiran di Amerika antah berantah masa mendatang, maka Joy Mangano adalah single parent yang berjuang menghidupi dua anaknya dengan menjadi wiraswasta menghadapi rimba sistem kapitalisme yang tak kalah kejamnya. Melihat aktingnya dalam film “Joy”, saya kira memang pantas aktris kelahiran 15 Agustus 1990 menjadi nominator Oscar 2016.
“Joy” dibuka dengan adegan hitam-putih dari sebuah tayangan opera sabun di televisi, yang ternyata adalah tontonan ibu dari Joy. Sang Ibu digambarkan seorang perempuan yang menghabiskan hari-harinya di tempat tidur, tak suka bersosialisasi di depan televisi. Karakter Ibu seperti ini juga kritik bagaimana televisi membuat manusia menjadi asyik dengan dirinya sendiri, menjadi candu yang membuat orang tidak produktif. Orangtua Joy memang bercerai. Rudy ayahnya (Robert De Niro) memiliki usaha bengkel yang memberi isyarat bakat wiraswasta Joy mungkin menurun dari ayahnya. Mereka tinggal di Long Island, New York, Amerika Serikat.
Sejak kecil Joy kreatif ditujukan lewat adegan ia membuat replika, mulai dari pagar, rumah, pohon. Lalu dia bertutur fantasinya tentang rumah yang dibangunnya dan ada pernyataan yang dahsyat : “Saya tidak butuh pangeran”. Lalu cerita melompat ke Joy dewasa menjadi single parent setelah bercerai dengan suaminya Toni (Edgar Ramirez), seorang penyanyi yang kurang berhasil. Uniknya keluarga ini dan kerelaan Joy menerima ayahnya yang sudah bercerai dari ibunya dan suaminya tinggal satu rumah. Keduanya tingal di ruang bawah tanah. Awalnya keduanya bertengkar, namun Joy dengan entengnya membagi dua ruangan bawah tanah seperti garis demarkasi. Tokoh lain yang tinggal di rumah itu adalah sang nenek yang menajdi penutur film ini.
Joy kemudian memutuskan menjadi pengusaha karena tanpa sengaja menemukan pel lantai dengan kain katun sepanjang 300 kaki dengan tangkai plastik, dilipat-lipat dengan piawai, hasilnya pel yang membuat tangan penggunanya tidak basah, karena mudah dilepas dan dibersihkan denagn mesin cuci. Inspirasinya juga tanpa sengaja karena membuatkan boneka untuk anaknya dan dirancang lewat crayon juga milik anaknya. Perjuangan Joy memasarkan produk itu tanpa rintangan mulai secara kaki lima di areal parkir, hingga memasarkan sendiri produknya melalui televisi merupakan sebuah pertarungan yang tak kalah buasnya. Kelicikan bisnis, persoalan paten, aturan hukum merupakan kendala yang dihadapinya.
Ketegaran Joy berhasil dimainkan dengan baik oleh Jeniffer Lawrence. Joy adalah karakter perempuan mandiri dan hebatnya mantan suaminya sebagai sahabatnya. Film yang disutradarai David O Rusell ini menampilkan adegan yang tidak lebay. Misalnya saja ketika Joy menerima kabar buruk melalui telepon, hanya menahan air matanya. Joy memasarkan produknya di depan kamera denagn kegugupan begitu nmanusiawi dan terjadi di dunia nyata. Joy hanya menusia biasa yang sempat terpukul lewat dialog dengan putrinya: Dunia tidak memberikan peluang dan dunia menghancurkan!” Joy terus berjuang mengalahkan orang-orang yang curang lewat kejeliannya: “Aku tak mau menghabiskan sisa hidupku menonton serial opera sabun seperti ibuku! “ Joy bisa bertahan hidup di rimba kapitalisme sebagai pemenang.
Joy Mangano adalah sosok nyata. Perempuan kelahiran 1956 ini merupakan pengusaha sukses dengan Mircale Corps pada 1990-an dengan lebih dari seratus produk kebutuhan rumah tangga. Sutradara berhasil menghidupkan suasana 1960-an hingga 1990-an, sebuah dunia yang belum menegnal ponsel dan internet dengan baik. Jangan heran kalau Tony merayu Joy muda lewat lagu something Stupid untuk menyatakan cintanya.
Irvan Sjafari
Adegan film Joy (kerdit foto Mirror.co.uk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H