Kalau bukan hari libur biasanya Situ Ciburuy Padalarang pada 1950-an relatif sepi. Danau yang menjadi inspirasi lagu Bubuy Bulan itu terletak di kawasan dekat Pegunungan Kapur menjadi tempat yang romantis. Tetapi Selasa 24 Juni 1958, ribuan manusia memadati kawasan itu untuk menyambut Tim Piala Thomas Indonesia. Sebagian besar dari mereka datang dari kota Bandung. Salah satu pahlawan yang membuat Tim Bulutangkis Indonesia mampu meruntuhkan dominasi Malaya yang sudah sembilan kali merebut Piala Thomas yang paling dinanti oleh warga Bandung: Tan Joe Hok. Warga Bandung begitu bangga pada Joe Hok. Dia memang kelahiran Priangan, 11 Agustus 1937.
Seluruh pemain Piala Thomas Indonesia menggunakan jas seragam berwarna biru di pimpin oleh Team Manager mereka R. Jusuf. Mereka kemudian berangkat menuju Kota Bandung dengan lima puluh mobil. Para pemain Thomas Cup ini dibagi dalam tiga buah sedan cabiriolet. Pada sedan yang paling muka duduk Tan Joe Hok dan Eddy Jusuf. Tidak tanggung-tanggung mobil ini disupiri oleh Kapten Lukman Saketi, seorang perwira sekaligus juga atlet menembak Indonesia.
Begitu mobil memasuki perbatasan Kota Bandung teriakan nama.. Joe Hok, Joe Hok… begitu meriah dan gegap gempita. Konvoi memasuki Jalan Timur dan kawasan Asia-Afrika berjalan berlahan-lahan. Begitu tiba di depan Toko Tujuh, sebuah toko serba ada terkemuka di kota itu, sang pemilik meminta karyawan melepas sekitar 2000 balon yang masing-masing digantungi sebuah raket badminton.
Toko Tujuh, bukan satu-satunya dunia yang ingin ikut bangga atas prestasi yang diraih Indonesia. Pabrik Limun Brantas membagikan limun secara gratis kepada ribuan orang sejak rombongan berangkat dari Situ Ciburuy.
Penyambutan mencapai puncaknya di Balai Kota. Rombongan baru tiba sekitar pukul13.30 dengan tiga buah mobil. Mula-mula yang memberikan penyambutan Letnan Kolonel Suprapto, Ketua Panitya Penyambutan. Kemudian diikuti Walikota Bandung R. Priatna Kusumah. “Kalian adalah inspirasi kepada warga Bandung. Saya yakin suatu ketika Bandung sanggup menyelenggarakan Asian Games,” kata walikota waktu itu.
Ayah, ibu dan adik-adik Joe Hok ikut hadir dalam acara di Balaikota. Ribuan anak sekolah ikut meramaikan suasana. Joe Hok tampak gugup sambil memberikan senyum manisnya dan ikut melambaikan tangan kepada para penggemar. Begitu juga ketika ia diperkenalkan dengan para pejabat. Ia menyambut uluran tangan dengan gugup tetapi terharu.
Kemeriahan pesta kemenangan itu dilanjutkan malam harinya di Hotel Orient dengan sebuah resepsi. Hadir dalam resepsi itu para pejabat, di antaranya Male Wiranatakusumah. Tan Joe Hok sendiri keesokan harinya Rabu, 25 Juni 1958 berkunjung ke Kantor Pikiran Rakjat dan mendapatkan sejumlah hadiah dari pembaca dan dunia usaha. Di antaranya Toko Happy Store memberikan sepasang sepatu tenis, sepasang kaus kaki. Dari perorangan, Nyonya Oemar Basalmah memberikan sebuah lukisan, kursus memasak gratis, serta sebuah tart besar yang dinamakan “Chateau Coup de Thomas”, serta hadiah lain. Total pembaca harian itu yang berpartisipasi mencapai 150 ribu.
Joe Hok adalah anak kedua dari enam bersaudara. Sang Ayah, Tan Tay Ping, bekerja sebagai pedagang tekstil yang harus sering meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. “Kondisi ekonomi keluarga kami kekurangan. Untuk membeli beras, kami harus antre. “Sejak berumur lima tahun, saya sudah terbiasa antre beras sendirian. Kedatangan Jepang itu membuat hidup kami makin susah. Berkali-kali kami harus mengungsi.Kami pernah tinggal di Tasikmalaya sebelum menetap di Kota Bandung,” tutur Joe Hok seperti yang pernah ditulis Tempo.
Pada masa Jepang keluarganya mengalami kesengsaraan. Berkali-kali mereka harus mengungsi, di antaranya ke Tasikmalaya sebelum menetap di Kota Bandung. Mulanya keluarganya tinggal di Gang Kote. Di sanalah awalnya Joe Hok mengenal bulu tangkis.
“Saya sering melihat ibu saya, Khoe Hong Nio, bermain bulu tangkis dengan para tetangga di sebuah lapangan di Gang Sutur, tak jauh dari gang rumah saya. Ketika peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 24 Maret 1946, kami harus mengungsi lagi karena perkampungan dibakar. Sampai akhirnya, kami mendiami sebuah rumah di Jalan Ksatrian 15, Cicendo, Bandung.”