Saya tidak akan pernah menjelajah gunung kalau tidak karena seorang perempuan bernama Tina. Dia yang membawa saya mendaki Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Salak, Gunung Merapi, Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Petulangan bersama perempuan itu membuat saya melupakan hingar bingar clubbing, cafe dan pool. Dia mengajak saya bergabung dengan sebuah perkumpulan pencinta alam yang menamakan dirinya Jelajah Jayagiri.
Tina yang paling banyak mengajarkan saya ilmu mengenal alam dan berbagai keterampilan seperti survival, mountaineering, rock climbing dan caving. Kecuali dia berhalangan barulah mentor lain yang mengajarkan saya. Tina mengaku sudah menjadi pencinta alam sejak duduk di bangku kelas satu SMA. Sementara saya bergabung di tahun keempat sebuah perguruan tinggi. Dia lebih muda dua tahun dari saya.
“ Kamu capek ?” tegurnya lewat mulutnya yang manis.
“Sebenarnya kaki saya mulai pegal. Tetapi setelah dua tahun bergabung saya merasa gengsi jadi pecundang terus. “Belum. Kan baru empat jam berjalan.”
“Eeeuy, kaki kamu sudah gemetar. Angkat ranselnya sudah terbungkuk,” sindirnya dengan logat Sundanya. “Napak tilas Priangan yang kita hadapi nanti jauh lebih berat. Gunung ini belum apa-apa,” oloknya lagi.
Kata-katanya seperti meragukan kemampuan saya seperti biasanya. Tetapi saya tahu dia tidak bermaksud merendahkan saya, hanya ingin membangkitkan semangat saya. Paling tidak dia tidak lagi menyebut saya sebagai anak hedon.
Seharusnya Bagus dan Riva ikut serta. Mereka mendadak tidak bisa ikut dalam pemanasan event yang digelar dua bulan lagi. Saya senang karena bisa berdua dengan Tina, tetapi sekaligus juga takut di gunung yang mempunyai hutan yang cukup lebat ini. Di atas ketinggian lebih dari 1000 meter hawa dingin sudah menggigit kulit saya yang terlindung dalam jaket. Seperi ribuan jarum tajam menusuk kulit. Kabut mulai turun menjelang malam hal yang lebih saya takutkan.
“”Kumaha, masa jaket kampus yang kamu pakai?” Rupanya dia tahu saya mulai kedinginan. Dia selalu tertawa yang membuat kuping kerap panas. Tetapi tertawa dia yang membuat saya suka.
Tina kemudian mengajak saya ke sungai. Dia membasuh wajah dan mencuci tangan yang kotor. Kemudian kembali ke tempat saya yang sedang mengisi tempat minum yang mulai kosong. Air itu bisa direbus. Namun Tina kembali meninggalkan saya. Tina berkeliling mencari sesuatu. Tampaknya ada miliknya yang hilang.
“Mencari apa?”
“ Nggak apa-apa. Mungkin tadi saya teledor waktu di posko penjaga hutan. “Ada yang ketinggalan.”
“Habis Mahgrib, buat bivak yuuk!” saya mencoba menenangkan dia, sekaligus mengambil muka agar perempuan berambut keriting ikal itu tidak mengejek saya lagi.
“Siap anak Hedon!” Dugaan saya meleset. Dia menganggap saya anak asuhnya. Nalurinya seperti kucing hutan. Dia tahu tempat yang aman untuk membuat sarang. Matanya seperti setajam macan tutul dan telinganya seperti serigala. Dia bisa mengenal waktu walau tidak memakai arloji.
Saya mulai memotong batang-batang tepus untuk rangka bivak. Tina menyiapkan ponco untuk atapnya. Dia bekerja lebih cepat dari saya. Siapa bilang perempuan mahluk lemah. Batang-batang saya digunakan untuk tiang. Kami memang tidak membawa tenda. Karena mengira tenda dibawa Bagus. Tetapi Tina tidak pernah takut naik tanpa tenda. Saya yang khawatir.
“Paritnya sayang!” tegurnya. Dia memanggil sayang.
Dengan tergesa-gesa saya menggali parit. Kali ini dia tidak membantu mengawasi seperti mandor. Namun dia menyiapkan makan malam. Dia memanaskan sekaleng sardencis kecil di atas kompor gas kecil. Kemudian saya menanak nasi dalam bambu yang dibelah yang saya bawa dari bawah. Nasi itu dimasak dengan daun pakis bercampur garam. Di tengah hawa dingin makanan itu enak sekali.
Kami tidur dalam sleeping bag masing-masing di atas matras yang digelar Tina.”Tengah malam nanti jalan lagi,”ujarnya.
“Siap Mentor cantik!”
Dia tidak terkesima sama sekali. Dia terus tidur. Saya tidak punya pilihan lain untuk tidur.
Hampir tiga tahun saya mengenal Tina. Kami bertemu dalam perjalanan kereta api ke Bandung. Seorang perempuan yang memiliki tinggi 170 cm. Beratnya mungkin sekitar 55 atau 57 kg. Badannya berisi, bahunya kekar tomboy, sekalipun sebetulnya masih punya sisi feminin. Dia duduk di samping saya. Ransel 45 liter di letakan di kakinya yang dibalut celana jins berpadu dengan jaket abu-abu yang dikenakannya. Wajahnya sama sekali tidak dipoles, tetapi dia tampak manis di mata saya. Rambut keritingnya tergerai sampai bahu.
“Pulang ke rumah atau ke tempat kos?” saya menegur. Kebiasaan saya mengajak kenalan perempuan dalam perjalanan. Siapa tahu bisa jadi pacar.
Dia tidak menjawab. Saya kahwatir dia jutek. Dia melihat penampilan saya dari mata kaki yang memakai celana bahan, sepatu pentopel dan kaus hammer rambut rapi dan wangi. Di tangan saya masih tergenggam buku sosiologi. Tinggi saya 163 cm dan berat 52 kg.
“Kuliah di sosiologi?” Dia bertanya ramah. Namun dia belum menjawab pertanyaan saya.
”Yuup, menyusun skripsi. Saya memasuki semester sepuluh. Saya mau penelitian ke Lembang tentang petani sayur mayur.”
“Kamu tahu nggak, petani –petani yang tanahnya digusur oleh komplotan para kapitalis dan pengusaha? Kamu tahu nggak sistem ekologi di Bandung Utara dan Lembang sedang mengalami kerusakan. Nasibnya menyusul Puncak.”
Sialan dia lebih pintar.
“Teknik Sipil semester enam,” Dia menjawab pertanyaan saya.
Tiab-tiba saya melihat badge dengan lambing pohon pinus dan gunung dengan tulisan Jelajah Jayagiri. Dia menyadari saya memperhatikan badge itu. Dia tidak memberikan komentar. Dia malah melirik gantungan kunci Hardrock Cafe di pinggang saya.
“Makanya gaul biar nggak kuper!” ejek saya.
“ Memangnya kalau hutan sudah tidak ada di muka bumi masih ada anak gaul? Apa kamu bisa makan uang?”
Skak Mat!
“Iwan!”saya mengulurkan tangan. Saya ingin cepat basa-basi itu selesai.
“Tina.” Dia menyebutkan namanya. Yess!
Dua
“Tina!” Begitu kata yang pertama keluar dari mulut saya ketika mendapatkan sendirian dalam bivak. Langit mulai terang. Mungkin sekitar pukul enam. Saya langsung berdiri melihat sekeliling Tina tidak tampak.
Shock. Mungkin saja saya takut sendirian di punggung gunung. Sekaligus khawatir kehilangan perempuan unik itu. Saya persis seperti ayam kehilangan induk. Panik. Mungkin perempuan itu menguji saya? Tetapi dara itu selalu tepat janji. Jam sepuluh malam bangun. Teng! Dia bangun.
Saya segera memakai Carrier saya di punggung terus berjalan keliling mencari Tina. Tetapi dia seperti dimakan kabut. Saya semakin takut menyadari bahwa saya tidak pernah naik gunung ini, yang pernah itu Tina. Saya berkeliling di antara pohon-pohon pinus. Entah berapa lama dan kembali lagi untuk menemukan bivak. Tetapi bivak itu juga tidak ada. Keringat dingin makin mengucur.
Tidak boleh panik. Tidak boleh panik. Tidak boleh panik. Bismillah. Bismillah. Saya berusaha menenangkan diri. Sepertinya saya berputar-putar. Kepala saya mulai berputar mungkin karena terlalu lama tidur dan makan kurang. Kemudian saya bersandar di pohon. Hawa dingin masih menyengat. Tidak boleh tidur. Tidak boleh tidur. Tidak boleh tidur. Saya mencoba bangkit. Tetapi lemas. Kemudian pandangan kabur.
“Wan, Bangun!” Tina menampar lembut pipi saya. Dia menyodorkan secangkir kopi panas ke mulut saya. Saya masih di bivak dalam hutan pinus? Mimpi buruk? Tina tersenyum melihat saya ketakutan. Lalu saya melongok ke luar bivak langit masih gelap.
“Kenapa Wan? Mimpi kehilangan Tina?” Seolah-olah dia bisa menebak.
Saya merasa lega. Saya bangkit ke luar. Panci berisi rebusan indomie sudah siap. Asapnya masih mengebul. Kami segera makan dan segera membereskan perangkat masak. Tina bekerja begitu rapi. Tak ada sampah yang ditinggal. Semuanya dibungkus rapi. Dia punya tempat di ransel untuk itu. Lalu saya mengikuti Tina menelusuri punggung gunung.
Saya jadi ingat lelucon kisah 1001 Malam entah Abunawas atau Nasruddin Hoja. Ceritanya tentang membedakan bebek jantan dan betina. Letakan kedua bebek itu di kolam, Kemudian seekor di antaranya meluncur lebih dahulu dan kemudian diikuti seekor lagi. Nah, yang depan adalah bebek betina dan yang belakang adalah bebek jantan. Menurut saya bebek jantan yang bodoh.
Kami terus menjelajah punggung gunung. Saya menyalakan senter. Begitu juga Tina. Di jalan kami berpapasan dengan empat remaja yang masih berseram putih abu-abu mengenakan tas ransel sekolah. Saya menyorot ke bawah. Alamak! Di antara mereka ada yang pakai sandal jepit. Luar biasa! Tentara saja naik gunung pakai sepatu lars. Seorang di antara mereka meneguk minuman beralkohol untuk mengusir dingin. Saya mencium baunya dan melihat merek minuman keras itu... dengan cahaya temaram. Saya mengenalinya karena pernah meneguknya bersama gang saya dahulu.
“Selamat malam! Salam Lestari!”sapa Tina.
Mereka juga mengucapkan selamat malam. Mereka berjalan berlawanan arah? Bukankah mereka seharusnya seiring dengan kami ke puncak? Ah, mungkin mereka hanya berkemah. Tiba-tiba mereka berhenti.
“Kami kehilangan jejak dua orang kawan. Kalau bertemu mereka bilang kami turun saja! Anak STM Bangun Jaya.”
Saya mengangguk. “Rasanya saya pernah mendengar enam siswa sekolah kejuruan naik gunung belum lama ini.”
Tina tak menjawab. Saya mengikuti dia. Masih beberapa jam ke puncak. Seorang petani renta muncul dari depan. Begitu kira-kira penglihatan saya.
“Punten Mang!”sapa Tina.
Petani itu tidak menjawab.Petani itu mengangkut kayu-kayu yang patah. Malam-malam begini? Dia seperti tidak melihat Tina. Tetapi dia berhenti sebentar melihat saya. Kemudian berlalu. Bagi saya seperti sebuah adegan film horror. Petani itu aneh. Beberapa teman pernah bilang mungkin dia manusia mungkin bukan, tetapi jangan diganggu seaneh apa pun.
Dalam perjalan Tina memungut bungkus Indomie dan rokok yang tercecer. Ïni kerjaan pencita alam atau petualang?” keluhnya.
Malam kelam menyergap. Tina berjalan terlalu jauh dari saya. Seperti bebek dalam cerita Abunawas itu saya mengejar sambil menyorot lampu senter. “Tina tunggu!”
Tiga
“Wan! Bangun!”
Wajah Bagus sudah ada di depan saya. Saya menoleh ke kanan dan ke kiri. Di situ ada Riva, dua anggota Jelajah Jayagiri lainnya dan beberapa orang pencinta alam. Mereka mengelilingi saya. Saya mendapatkan diri saya terbaring dekat semak-semak. Sinar matahari menerpa saya. Dengan penuh rasa takut saya bangkit. Sungguhkah ini? Lalu?
“Tina!” teriak saya.
“Dia sadar!” cetus Bagus. Tetapi anak muda itu kahawatir melihat saya. “Wan, kamu pingsan cukup lama!”
“ Nekat kamu! Bukan kamu saja meyayangi Tina Wan! Kami juga menyayanginya!”
“ Seharusnya kamu tidak sendirian mencari dia. Kamu kan bisa berangkat bersama kawan-kawan. Tahu nggak kamu bikin panik pencinta alam se Indonesia!”
“Tahu nggak kamu bikin kesalahan yang sama dengan cewek mu itu...!”
Saya tidak menjawab karena saya tidak mengerti apa maksud perkataan mereka. Saya belum sadar benar. Saya berdiri. Kemudian melihat sekeliling. Tiba-tiba saya melihat sesosok perempuan berambut keriting tergerai ke bahu. Dia mengenakan ransel. Kabut mulai turun. Walau samar saya yakin itu Tina berjalan dalam kabut. Saya tak menghiraukan badan masih lemas dan memaksa berlari.
“Tina! Tunggu!” teriak saya.
“Wan! Gila kamu! Berbahaya dalam kabut, daerah situ banyak jurang! Kami tidak melihat Tina di sana!”
Saya tidak peduli dan terus berlari. Bagus berupaya mengejar, saya terus berlari dan bertariak. “Tina!”
“Wan, kamu berlari ke jurang. Itu bukan Tina...! Nggak ada siapa-siapa di situ!”
Sesosok itu berhenti seperti menunggu saya. Wajah perempuan berambut keriting yang saya cari. Lalu saya masuk kabut dan melayang. Saya meluncur ke bawah . Sepertinya saya masuk jurang. Saya menggapai-gapai seperti orang yang tenggelam, akhirnya saya meraih sesuatu mungkin batu yang menonjol. Cukup menahan saya. Ternyata yang saya raih sepasang tangan yang membantu saya naik.
Tina sudah berdiri di depan saya. Perempuan perkasa itu mampu mengangkat saya ditambah carrrier 40 liter. Entah berapa kg tambahannya.
“Kamu nggak hati-hati mengejar saya terperosok dekat tebing!” tegurnya.
“Terima kasih cantik!” spontan saya berucap. Rupanya tadi saya melamun.
Tina tak memberikan reaksi. Dia terus berjalan. Rupanya hari masih gelap. Jadi Bagus dan Riva? Saya tidur berjalan? Mengerikan! Tapi mungkin saya melamun. Ingat teman-teman lain di Jelajah Jayagiri. Lalu saya berjalan kembali mengikuti Tina. Kabut tebal meyergap kami. Tina seperti kehilangan jejak. Dia berputar sebentar. Karena dia lebih pengalaman. Saya mengikuti. Tetapi yang ada pohon-pohon pinus tak ada habisnya.
“Sudahlah kita menunggu matahari saja!”ujarnya. “Kembali ke bivak!”
Saya mengerti maksudnya. Hujan mulai rintik-rintik turun. Bukankah bivak yang kami buat itu cukup jauh di bawah. Tetapi Tina realistis. Entah berapa lama tahu-tahu kerangka Bivak itu di depan kami. Dengan cepat Tina menggelar ponconya dan saya menggelar matras lalu kami tidur di dalamnya. Hujan turun dengan deras. Seharusnya saya makan tetapi melihat Tina tidak makan saya tidak enak. Anehnya saya tidak lapar hanya mengantuk.
Gadis super energik ini memberi saya stamina luar biasa. Dia seperti punya magnet yang menghisap saya melekat pada dirinya. Saya ingat besoknya setelah perkenalan di atas gerbong kereta api, saya mengunjunginya ke kampusnya di kawasan Juanda. Ceritanya memberinya kejutan. Yang terjadi dia tidak terkejut melihat saya menghampirinya ketika sedang makan di kantin. Saya agak cemburu melihat teman-temannya kebanyakan laki-laki. Tina dengan tenang memperkenalkan saya ke teman-temannya.
Sore itu juga Tina mengajak saya ke markas Jelajah Jayagiri di kawasan Lembang. Di sini saya dikenalkan dengan Bagus Ketuanya dan Riva wakilnya. Seperti terhipnotis saya mau saja mengisi formulir pendaftaran. Saya beruntung datang pas sedang penerimaan anggota baru. Waktu dengan cepat berlalu saya kerap ke Bandung dengan alasan penelitian padahal ikut kegiatan mereka. Sekitar empat bulan bergabung, saya ikut pelantikan.
“Selamat datang di Jelajah Jayagiri!” cetus Bagus menyalami saya sambil melepas penutup mata. Sesudah gadis bandel itu menyiram sekujur kepala dan badan saya dengan air dingin. Bagus mengenakan slayer pada leher saya pertanda resmi dilantik masuk anggota komunitas ini. Seingat saya selain Tina, Bagus, Riva, Jeanny, Ringgo dan Gina di sekitar saya.
“Selamat Ya, Wan!”” Tina menyalami saya. Dia mendapat kehormatan menyiram saya karena dianggap bertanggungjawab menyeret saya masuk komunitas ini. Setelah itu dia memberikan saya secangkir air jahe hangat untuk saya teguk.
Kemudian Tina mengajak saya menjauh teman-temannya. Saya mengikutinya dengan bodoh. Sekalipun kaki-kaki ini gemetar menahan hawa dingin. Matahari baru saja terbit menerpa kami namun belum cukup menghangatkan tubuh. Dia mengajak saya duduk di atas batu tak jauh dari air terjun. Saya mengikutinya karena ada yang ingin meluap dari tubuh saya yang membuat saya bertahan dari udara dingin.
“ Je T’’aime Tina!” bisik saya terpatah-patah dan sedikit gemetar. Saya sengaja pakai Bahasa Prancis. Sisa pelajaran di SMA dulu. Maksudnya kalau dia marah bisa ngeles. Siapa tahu dia tidak mengerti.
Tina tidak menjawab. Dia memasang wajah dingin. Saya khawatir sekali saya langsung disemprot dan dia tidak mau lagi bicara. Tetapi mendadak dia tertawa. “Saya mah sudah tahu sejak awal. Semenjak kamu nekat menyatroni kampus saya! Saya tahu wajah kamu yang cemburu melihat teman saya banyak laki-laki.”
“Lalu?” Saya tidak siap untuk remuk dalam hawa dingin ini.
Dia mendorong saya terjun masuk air. Saya gelagapan.
“Irawan, saya juga suka kamu. Kamu cowok yang unik bagi saya!” Dia tertawa dari atas batu. Lalu tangannya membantu saya ke luar dari air dingin. Belum pernah saya selega itu.
“ Tina, saya janji mau selamanya sama kamu...!” cetus saya sambil terus keluar dari air. Hawa dingin sudah tak saya pedulian lagi.
“ Jangan sembarangan janji loh, kita berada di alam bukannya di kota yang kamu bisa seenaknya berkata gombal.”
“Nggak Tina, saya mau selamanya sama kamu...!”
Dia terdiam. “Yang dengar bukan hanya saya Wan! seisi alam ini mendengar!”
Saya sebetulnya agak takut benar kata-katanya. Tetapi saya lebih takut kalau tidak bisa lagi bersama dia.
Dia tertawa melihat ketakutan saya. “Percaya.”
Empat
Tangan itu juga yang menarik saya agar terjaga. Rupanya Tina. “Ada orang di luar Wan? Pendaki lain?”
Hari masih gelap. Saya taksir sekitar pukul tiga atau empat pagi. Suara langkah kaki menginjak daun-daun, rantik dan genangan air. Langkah-langkah yang terburu-buru. Lebih dari satu orang mungkin tiga atau empat orang. Suara mereka bercampur hujan yang turun cukup deras.
“Ada bivak di sana.”
“ Kita berteduh saja di sana?”
“ Jangan sembarangan. Bisa jadi milik penunggu gunung ini? Bentuknya aneh? Luh, sih maksa naik juga. Gunung ini kan punya hutan yang angker?”
“ Luh udah dengar nggak cerita empat anak STM itu?”
“ Juga cerita mahasiswa Bandung yang pacaran itu.....”
Tina mengajak saya ke luar bivak. “Mereka habis kehujanan pasti kedinginan. Kita ajak mereka masuk!”
Kami berdua ke luar. Saya melihat empat orang memakai ponco. Kami tak bisa melihat wajah mereka dalam gelap.
“ Rul, ada yang keluar dari bivak?” Salah satu menyorot senternya ke sekitar tempat kami berdiri. Suara petir menggelegar ketika anak itu berteriak: “ Setan!”
Keempat orang itu berlari tunggang langgang. Saya dan Tina berpandangan. Mungkin mereka melihat sesuatu di belakang kami. Tina berteriak: Tunggu! Kalian melihat apa! Wan, kita susul mereka!”
Tanpa membawa ransel kami berdua mencoba menyusul mereka. Apa yang mereka lihat? Sesuatu yang mereka sangat takut. Tadinya saya ingin menoleh ke belakang tetapi rasa takut jaga menyergap saya.
“Sialan Jurik-jurik itu mengejar kita Bin! Buang tuh barang yang loh ambil di sungai tadi. Mungkin mereka meminta barang itu. Gue bilang apa jangan ambil barang di tempat yang angker. Binar buang nggak!”
Tahu-tahu kaki saya menginjak sesuatu. Sehelai slayer. Saya tahu pemiliknya. Saya memberikannya ke Tina.
“Itu memang punya saya. Mungkin jatuh waktu saya ke sungai.”
Kami berhenti. Keempat orang itu menghilang. Saya senang melihat dara itu mengenakan slayernya . Di slayer itu dibordir angkatan ke 2, empat angkatan di atas saya.
“Kembali ke bivak,” katanya.
Malam yang cukup menakutkan. Saya baru menyadari Tina kehilangan slayernya semenjak kami bersama. Padahal dia selalu mengenakannya dalam setiap kegiatan ekspedisi.
Cukup jauh kami harus berjalan lagi kembali. Saya kemudian masuk lagi dalam sleeping bag yang kami tinggalkan. Cukup letih. Tina tidur di belakang saya. Baru kali ini dia tidur di belakang. Biasanya dia yang di depan. “Besok kamu yang bangunkan saya Wan!” pintanya lembut. Permintaan yang tidak biasanya. Selama ini saya selalu molor. Kadang dia mendiamkan saja. Tetapi kadang dia menegur juga. Pikiran saya menerawang, sepertinya mulai bermimpi. Seperti mendengar Tina memanggil minta tolong. Loh bukannya dia di belakang saya? Lagipula mana pernah dia minta tolong pada saya, yang ada saya yang minta tolong pada dia di alam liar seperti ini.
Hari masih pagi ketika saya terbangun dan mendapatkan diri saya di kamar tidur rumah orang tua saya di Jakarta. Dengan masih mengantuk saya turun ke bawah. Mimpikah saya? Yang mana yang mimpi di rumah ini atau di atas gunung? Dengan keringat dingin mengucur saya menuruni anak tangga. Saya ke dapur dan mengambil segelas air putih. Kemudian ke ruang tamu, membuka pintu depan dan mengambil koran. Rutinitas biasa kalau sedang di rumah.
Headline surat kabar tentang politik tidak menarik saya. Tetapi di bagian bawah membuat rasa takut menyergap. Mahasiswi Hilang di Gunung...... Saya membaca kata demi kata. Ada Wajah yang sangat saya kenal. Tina Marlina. Naik gunung sendirian .... Menambah jumlah korban yang hilang... Sebelumnya empat siswa belum ditemukan....Dua lagi selamat melaporkan rekan-rekan mereka yang raib. Mengerikan mulut wajah manis itu tiba-tiba bergerak meminta saya menyusul ke gunung itu...
Mimpi. Mimpi. Mimpi. Saya berusaha sadar.
Kemudian saya mendapatkan diri saya diterpa matahari. Tina sudah bangun dengan dua cangkir kaleng kopi hangatnya. Saya mengambil salah satu dan langsung meneguk. Saya tidak enak karena harusnya saya membangunkan. Tetapi Tina tidak marah. Dia membereskan ransel.
“Kita harus naik sekarang.” Katanya. “Hari ini harus tuntas!”
Hanya dalam setengah jam kami melanjutkan perjalanan. Kali ini lebih bersemangat. Kami kembali menelusuri punggung gunung melalui hutan pinus. Seorang petani tua renta menggendong kayu bekas patah muncul dari arah berlawanan.
“Punten Mang!” Tina menyapa.
Petani itu terus berjalan. Dia tidak berkata apa-apa. Rupanya petani kemarin yang bertemu. Saya tidak lupa. Saya kira petani itu rutin mencari kayu bakar di gunung untuk dijual menambah nafkahnya.
Kami terus berjalan. Dari arah berlawanan saya melihat empat siswa STM yang kemarin kami lihat. Loh? Mereka belum juga turun. Apa mungkin mereka tersesat.
“Selama pagi Kak! Sudah lihat dua teman kami?” Pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang mulai menakutkan saya. Wajah mereka tampak pucat mungkin karena lama berjalan dan kurang makan.
Saya menggeleng. Tina juga menggeleng.
“Kalau bertemu bilang kami mencari...”
“ Baik,” kata saya.
Tina mempercepat langkah. Mungkin puncak gunung makin dekat.
“Mentor yang cantik, benarkah gunung ini angker?”
Tina tertawa tertahan.”Kamu takut ya anak hedon? Saya sudah tiga kali naik gunung ini. Tidak ada yang aneh? Ini kali yang keempat memang saya buka jalur baru. Jadi perjalanan lebih panjang dan lebih menantang. “
“Saya tidak takut...Cuma ada yang aneh..”
“ Kan kata kamu mau selamanya bersama Tina..”
“ Iya, iya...” Ada rasa gengsi di dalam diri saya. Cuaca begitu cerah. Namun hawa semakin dingin tandanya kami berada di tempat yang lebih tinggi. Kami sekarang berjalan di bibir jurang. Kemarin rasanya saya terperosok di sini dan diangkat Tina. Waktu itu gelap. Cuaca cerah membuat saya bisa melihat panorama yang menakjubkan. Tina menghentikan langkah membiarkan saya menikmatinya.
“Asyik mana naik gunung atau clubbing?”
Saya tidak mengomentari. Saya menyukai anak yang keras kepala itu. Pemanasan untuk ikut kegiatan ekspedisi Napak Tilis Priangan dengan naik gunung ini dengan membuka jalur baru, ide yang berani, “Ayo kita selesaikan misi!”
“ Siap anak hedon!” Tina memperlihatkan giginya yang bagus. Dia masih segar bugar selama dua atau tiga hari ini. Kemudian saya mengikutinya. Puncak gunung mulai tampak di kejauhan. Tak lama lagi kami tiba.
Di puncak kami masih menikmati cahaya matahari sekitar pukul sepuluh. Saya menatap wajah mentor saya. “Saya ingin terus bersama kamu. Saya mungkin bebek jantan yang bodoh tetapi saya ingin setia sama kamu selamanya,”
Tina tidak menjawab. Saya meraih tangan dia untuk turun ke gunung. Dia menerima. Kami kembali menelusuri punggung hutan penuh pinus lebih cepat dari perjalanan mendaki. Kali ini saya yang di depan. Biasanya mentor saya itu tidak mempercayai saya berjalan di depan kalau naik gunung bersamanya. Namun hari ini, dia percaya. Di depan ada yang menanti kami. Petani tua renta itu sedang berdiri dengan wajah penuh persahabatan dan hormat.
“ Misi kalian kan sudah selesai anak muda. Terima kasih kalian ikut menjaga gunung ini, Sudah saatnya turun. Bapak akan antarkan kalian...!”
Petani yang aneh. Sekarang dia menegur. Selama ini dia ternyata mengetahui keberadaan kami. Namun mungkin ia memilih tidak menganggu kegiatan kami. Kami mengikuti petani itu yang melangkah seperti anak muda begitu cekatan. Hebat juga. Udara tidak terasa dingin lagi yang ada ke hangatan. Saya merasa bahagia Tina di belakang saya dengan senyuman memberikan penghargaan pada saya.
“Terima Kasih Irawan, kamu menepati janjimu menemani saya...” Belum pernah dia memberikan apresiasi pada saya begitu tinggi.
Petani itu mengantarkan kami turun sampai ke tepi sungai. Di situ Bagus, Riva, Jeanny..banyak pencinta alam lain berkumpul . Ada juga anggota SAR. Mereka tampaknya mengangkat sesuatu beramai-ramai dari balik sebuah batu. Dari bentuknya tubuh manusia. Mungkin ada kecelakaan. Mereka memasukkan tubuh itu ke atas tandu dan ditutupi tikar kantung. Ada satu tandu lagi tepi sungai juga ditutupi tikar.
Saya ingin sekali menegur mereka. Tapi saya kira mereka melihat kami. Mungkin karena sibuk mereka belum memprioritaskan kami. Kemudian Bagus dan sejumlah pencinta alam lainnya menggotong tandu yang pertama. Di belakangnya Riva dan Ringgo dibantu berapa orang mengodong mayat yang lain.
Di samping mereka Jeanny dan Gina menangis berpelukan. Saya sedih juga melihatnya. Mungkin mereka mengenal korban. Lalu rombongan turun. Saya dan Tina mengikuti di samping. Kami tak ingin menegur agar jangan menambah kesedihan. Di kejauhan petani tua itu melambaikan tangan. “Selamat jalan anak muda!”
Di perjalanan kami melihat empat anak sekolah itu masih berputar-putar di antara pohon-pohon pinus dengan hanya membawa ransel sekolah. Kali ini mereka tidak melihat kami dan menghilang di balik pohon-pohon pinus.
Tanpa terasa kami tiba di kaki gunung. Beberapa mobil sudah menunggu. Kedua tandu itu dimasukan ke dalam sebuah ambulan yang menunggu. Teman-teman dari Jelajah Jayagiri masuk ke dalam sebuah mobil segera menyusul mereka. Tadinya saya ingin naik namun Tina menahan saya.
“Mobil mereka sudah penuh, kita jalan kaki saja ke bawah dan naik angkot,” katanya.
Saya mengangguk.
“Kamu di depan, kamu kan mentor Tina sekarang,” katanya dengan lembut.
Mulanya saya kira anak gunung itu meledek saya. Rasanya tidak, wajahnya menunjukan sangat respek pada saya, Saya merasa mendapat kehormatan memimpin dia dalam perjalanan pulang. Dia sekali lagi tersenyum dan tidak lagi bicara. Kami menapaki jalan tanah yang berputar ke bawah. Di belakang puncuk gunung semakin kecil. Udara kian hangat. Rasanya menyenangkan. Hari ini semakin terang dan sejuk. Seolah-olah cahaya itu turun menemani kami berjalan. Cahaya itu semakin terang dan kami berjalan di antaranya membungkus kami. Saya tidak peduli yang penting saya bahagia karena saya bukan bebek jantan yang bodoh lagi.
Depok, 19 Juni 2002, direwrite lagi dari cerita yang pernah saya tulis tahun 1983, 1992
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H