Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Djuanda Kartawidjaja : Teknokrat Pertama di Arena Politik 1950-an

16 Oktober 2015   21:36 Diperbarui: 16 Oktober 2015   22:24 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Tulisan  ini adalah  bagian  berikutnya  dari upaya saya mendokumentasikan tokoh-tokoh asal Jawa  Barat, setelah Oja Somantri, Sanusi Hardjadinata dan  Kolonel Kosasih untuk bidang politik. Sumber untuk Djuanda sebetulnya  lebih banyak terutamasumber sekunder,  namun saya meringkasnya pada poin-poin tertentu  untuk  membuat  tulisan awal. Sementara sumber primer yang lebih komplit masih dalam pengumpulan.  

Djuanda Kartawidjaja dilantik  sebagai  Perdana Menteri Indonesia yang ke 10  pada 9  April 1957 ketika Republik Indonesia menghadapi persoalan politik dan keamanan di daerah yang sedang memuncak.  Bahkan di Jawa Barat  sudah  terdapat gerakan kekecewaan terhadap pusat, seperti yang dilakukan oleh Front  Pemuda  Sunda.  Munculnya Djuanda agaknya meredam kekecewaan di tanah Pasundan untuk tidak lebih menambahkan meluasnya pergolakan daerah setelah meletusnya PRRI/Permesta.  Pencitraannya tenang  baik dari ekspresi wajahnya  serasi dengan cara berjalan dan berbicaranya yang santun  merupakan poin  tersendiri.  Mungkin hal ini terjadi karena latar belakangnya seorang teknokrat, terpelajar daripada seorang politisi.  Djuanda adalah teknokrat pertama  di panggung politik Indonesia sebagai pimpinan utama.   Sejarah mencatat teknokrat berikutnya adalah BJ Habibie.            

Djuanda adalah Perdana Menteri terakhir yang menutup era demokrasi parlementer. Kabinet boleh silih berganti –dengan usia relatif  pendek- dengan pucuk pimpinan Perdana Menteri dari Masyumi dan PNI, tetapi Djuanda diterima oleh kedua belah pihak membuat  munculnya tokoh  ini sebagai alternative yang tepat.   Kabinet yang dipimpin Djuanda terdiri dari 20 orang  menteri termasuk dia dan dua wakil Perdana Menteri dengan kabinet karya  di mana menteri yang terpilih lebih berdasarkan keahlian daripada  latar belakang  partai politiknya.   Menteri Perekonomian untuk pertamakalinya dipecah dua menjadi menteri perindustrian dan menteri perdagangan.     Djuanda peletak  gagasan rencana pembangunan lima tahun.   Dia juga mengungkapkan tetap membutuhkan parlemen di sampingnya, karena baginya parlemen adalah hasil Pemilu 1955 yang harus dihormati.    

Djuanda terpilih pada saat Dewan Banteng, Dewan  Garuda, Dewan Gajah terbentuk.  Reaksinya ingin menyelesaikan dengan persuasif.  Pada awal  pemerintahannya Djuanda menjadikan kunjungan ke Sumatra Barat sebagai agenda resminya untuk bertemu dengan para tokoh-tokoh yang sudah tidak suka pada pemerintahan pusat yang dinilai mengabaikan daerah dan sudah condong melindungi komunis. Kunjungan ini dilakukan pada April 1957.  Di antara yang dijanjikan Djuanda adalah program pekerjaan umum ke luar daerah Jawa.   Selain itu parlemen berhasil  meloloskan undang-undang  desentralisasi yang memberikan otonomi  yang lebih besar bagi administrasi dan keuangan daerah.  Sayangnya kekuatan politik di pusat dan peristiwa politik di Jakarta membuat gaduh dan membuyarkan peredaan ketegangan yang sudah payah dilakukan Djuanda.

Dia kemudian menawarkan pembentukan Dewan Nasional  yang fungsinya memberi nasehat kepada pemerintah baik atas permintaan mau pun inisiatif   dewan itu sendiri.  Nasehat yang diberikan tidak mengikat tetapi berdasarkan musyawarah dengan demikian  kabinet tetap bertanggung jawab kepada DPR.  Yang diangkat sebagai anggota Dewan Nasional   berasal dari golongan fungsional dalam masyarakat.   Dewan  Nasional  diharapkan bisa memecahkan persoalan daerah. 

Awalnya munculnya Dewan Nasional disambut baik dan untuk beberapa lama ketegangan antar daerah dan pusat mereda.  Sayangnya kekuatan politik di pusat dan peristiwa politik di Jakarta membuat gaduh dan membuyarkan peredaan ketegangan yang sudah payah dilakukan Djuanda. Di antaranya yang paling  fatal adalah   Peristiwa Cikini pada 30  November  1957,  dengan desas-desus melibatkan perwira militer yang berhubungan dengan gerakan  kedaerahan.

Sementara  politik  luar negeri  juga tak  kalah memanas dengan retaknya hubungan Indonesia-Belanda karena  persoalan  Irian  Barat.   Djuanda   sempat  terlibat polemik dengan Hatta soal perjuangan Irian barat pada akhir 1957 dan awal Januari 1958.   Hatta tampaknya ingin menghindarkan jalan kekerasan karena melihat masalah ekonomi rakyat, sementara Djuanda  lebih sejalan dengan keinginan Soekarno. Hatta akhirnya mengklarifikasi ucapannya bahwa rakyat kita terpaksa menderita  karena harus berjuang begitu ketat dari semula dipimpin oleh pemerintahan yang teratur. Hatta menyebutkan bahwa ia berpendirian sama dengan Djuanda,  Belanda harus meyerahkan Irian Barat agar ekonominya bisa dilikuidasi.  Sebagai akibat dari perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajahan belanda bukan rakyat kita yang menderita dahulu melainkan orang Belanda.

“Proklamasi” PRRI

Pada 10 Januari 1958  rakyat Indonesia dikejutkan oleh ultimatum Dewan  Banteng  agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam lima hari.  Kabinet yang baru harus dipimpin oleh Hatta dan atau Hamengku Buwono IX, jika hal ini tidak dilakukan maka akan didirikan pemerintahan baru di Sumatera.  Kabinet Djuanda mengadakan sidang dan menolak tuntutan itu.   

Suasana politik semakin panas ketika  beredar desas-desus  tentang apa yang disebut negara Sumatera yang menimbulkan kehebohan.  Yang lebih mengejutkan lagi ialah sebuah dokumen yang menyebut nama Kolonel Zulkifli Lubis  berhubungan dengan rencana Negara Sumatera.  Masalah  menjadi lebih pelik ketika  Gubernur Bank  Indonesia Syafrudin Prawiranegara tiba-tiba meningalkan posnya dan  “boyong”  ke Sumatera bersama keluarganya  ( majalah Merdeka nomor  6, 8 Februari 1956).

Pemerintah semakin terdesak  ketika pers dan radio Belanda  ikut  mendengungkan adanya  pemisahan Sumatera.   Berita itu  bersamaan  ketika masalah  Irian Barat semakin memanas.  Djuanda akhirnya  bersikap  dan kepada pers dia menyebutkan bahwa : Kita hanya mengenal satu proklamasi dan satu negara. Usaha yang menentang atau menyimpang dari pendirian itu pemerintah akan tegas”.                                                             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun