Beberapa kali dia menamakan dirinya Nyi Iteung. Kepada laki-laki yang ia cintai dia memanggilnya dengan Kang Kabayan. Perempuan itu kerap memperlihatkan foto hitam putih memperlihatkan dia berdua dengan laki-laki itu kepada saya, kepada kawan-kawannya semasa sekolahnya dulu, kepada kawan-kawan di tempat ia bekerja, bahkan kepada orang yang baru ia kenal. Dia begitu bangga memamerkan foto yang diambil di depan Rumah Makan Naga Mas di kawasan alun-alun, tempat mereka makan berdua pertama kali.
Mengapa ia ingin menjadi Nyi Iteung? Mengapa tidak menjadi Purbasari dalam dongeng Lutung Kasarung? Mungkin ia ingin menerima seorang suami yang dipilihnya karena bersahaja, rendah hati, dan di balik itu sebetulnya pandai. Itu semua ada pada tokoh Kabayan menurut pandangan perempuan itu. Laki-laki yang disebut Kabayan itu seorang priyayi di sebuah kota di Jawa Tengah, mengenyam pendidikan di negeri Belanda, saya tidak ingin latar belakangnya lebih lanjut, yang penting perempuan itu tampak mencintai suaminya.
Tetapi itu cerita setahun lalu. Pada hari ini dalam Bulan Agustus 1957, tiba-tiba secarik kertas diberikan Seorang pelayan Hotel Selecta kepada saya. Perempuan itu tahu kalau saya kerap menginap di hotel di kawasan Pasirkaliki ini kalau sedang bertugas sebagai jurnalis atau sekadar ke Kota Bandung. Dia mengajak bertemu di sebuah rumah makan kecil di Jalan Dipati Ukur. Sore itu juga saya bergegas menemui dia di rumah makan itu.
“Saya dikhianati suami saya,” cetusnya. “Dia selingkuh dengan sesama pelajar Indonesia di Eropa. Mungkin dia mencari seorang perempuan yang kepandaian setara dengan dirinya. Bukan saja lebih pandai, tetapi juga dari kalangan ningrat dan berada.”
Saya tak mengomentarinya karena saya tak mau mencampuri urusan pribadinya. Saya biarkan dia menceritakan kekesalannya terhadap pengkhiatan yang dilakukan Kabayan. Tetapi saya bersimpati pada dia dan memihak dia walau hanya dalam hati.
“Saya diceraikan lewat sehelai surat dan surat tanda talak tinggal diambil di kota tempat dia nanti bertugas?”
“Nanti? Memangnya dia masih di Eropa?”
Perempuan itu mengangguk. Dia mampu menahan kesedihannya. Lalu kemudian dia bercerita bahwa ia terkena suatu penyakit yang cukup berat. Awalnya laki-laki yang disebut sebagai Kabayan itu bersimpati, tetapi entah mengapa ia balik mengejeknya sebagai “penyakitan”. Yang membuat saya tak habis pikir, dia diberikan obat-obatan agar tidak hamil untuk waktu tertentu. Aneh apa maksudnya? Biasanya pasangan yang baru menikah ingin buru-buru punya anak.
Angka kawin cerai di kawasan Jawa Barat tertinggi di Republik Indonesia, bahkan sejak masa penjajahan. Pada 1934 di Kota Bandung menurut surat kabar Adil yang saya baca tercatat 3943 pernikahan, tetapi pada tahun itu angka perceraiannya 2942. Di Kota Tasikmalaya, tempat asal perempuan bernama Nyi Iteung pada tahun itu tercatat 1658 pernikahan tetapi perceraiannya juga tinggi mencapai 1165. Sebuah surat kabar menyebutkan banyak laki-laki yang tanah ke Tanah Pasundan tidak membawa istrinya, padahal di rumah sudah punya bini dan anak itu. Kesannya laki-laki mau enaknya saja, persis seperti kelakuan para orang kaya Belanda memelihara Nyai.
Perempuan di Tanah Pasundan kondang dengan kecantikannya. Priangan si jelita bukan julukan pada tanahnya tetapi juga kaum hawanya.
Keesokan harinya saya mengajaknya mengikuti saya ke Jayagiri. Kami berangkat pagi-pagi dengan angkutan umum ke Pasar Lembang. Dari sana kami mendaki ke Bukit Jayagiri. Perempuan itu antusias sekali dengan perjalanan.