[caption caption="Walau pun tak semua anak menyimak. Kegiatan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Pancasila, hingga berdoa rutin dilakukan (kredit foto Irvan sjafari)"][/caption]
Sepintas rumah yang terletak dalam sebuah kompleks hunian di kawasan Pamulang itu tidak ada bedanya dengan rumah lain. Namun ketika saya dan tiga anak bimbingan saya di WartaTV memasuki rumah itu ruang tamunya disulap menjadi ruangan TK lazimnya, ada matras dan kursi kecil. Di dinding ada tabel berisi kegiatan yang disusun arah jarum jam. Mulai dari Morning Routine, pledge (membuat janji), greeting time, group time, snack time, planning time, free time,recall time, evaluation time, after school routine, dan fun adventure. Maksudnya Mourning Routine ialah meletakan sepatu di rak yang sudah disediakan di beranda rumah, cuci tangan,kemudian mengikuti upacara bendera, menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, membaca Pancasila hingga Sumpah Pemuda. Hari itu Kamis, 21 Januari 2016 saya mengajak tiga anak PKL dari sebuah SMK untuk membuat berita video dengan konsep Citizen Journalism. Saya memilih lembaga pendidikan ini untuk latihan peliputan mereka.
Ada sekitar tujuh anak anak usia 2-6 tahun mengikuti prosesi itu walau yang menyimak hanya seorang dan yang lain ada yang berbaring dan bermain. Empat pendidik di sana membiarkan saja karena memang begitulah anak-anak umumnya. Paling tidak anak-anak itu mendengar lagu “Indonesia Raya”, pembacaan Pancasila tiga hari berturut-turut, yaitu Rabu-Jum’at setiap minggu. Kemudian seorang pembimbing memimpin mereka membaca doa (kebetulan semua muslim). Tetapi bila ada siswa non muslim boleh membaca doa menurut kepercayaannya.
Anna Effana,33 tahun (coordinator) Student Center dari lembaga bernama KAIT a Tailored Education ini memperkenalkan kami satu demi pada anak-anak. Kami berempat digambar di papan tulis putih dan anak-anak itu bertanya siapa nama masing-masing dari para tamu yang ingin meliput kegiatan belajar dengan cara bertanya yang polos. Menurut Anna konsep pengajarannya disesuaikan dengan kebutuhan anak, seperti baju yang dijahit sesuai dengan badan si anak.
“Selain itu setiap pelajaran ditanamkan nilai. Pelajaran menggambar misalnya anak-anak bersyukur bahwa diberikan Tuhan tangan,” ungkap Anna. Menurut cerita dia di akhir belajar, ada sesi di mana anak-anak diajarkan merenung perbuatan baik apa yang mereka lakukan hari ini.
Hal yang senada juga diungkap R Egi Wahyuni,35 tahun salah seorang instruktur melihat manfaat positif lain bila seorang anak menemukan karakter dirinya. Bila seorang anak menyadari dirinya unik dan punya karakter unik, dia tidak akan membully anak lain yang dianggap unik (aneh). Bully itu sebetulnya hanya dilakukan oleh seorang anak yang tidak suka pada seorang anak, tetapi teman-teman lain mengikuti. Bila semua anak bisa diajarkan menyadari betapa setiap anak masing-masing unik maka perilaku bully ini bisa dihilangkan.
“ Tak jauh dari tempat anak-anak itu belajar terdapat sebuah rumah yang mempunyai tanaman yang rimbun. Anak-anak itu kemudian mengamati banyaknya ulat. Ada yang memperhatikan bagaimana ulat hijau begitu rakus mengunyah daun. Kemudian kami mengajarkan soal kupu-kupu, sambil bercerita soal ulat. Hal ini yang kami ajarkan agar anak mengenal lingkungannya. Ini yang membedakan dari TK lain yang cenderung seragam kurikulumnya,” tutur perempuan yang pernah menjadi pengara TK dan Pre School Internasional ini.
Hari itu kami melihat bagaimana anak-anak bermain sesuai keinginannya pada segmen free time. Ada yang bermain robot. Ada yang yang main dokter-dokteran. Para instrukturnya hanya menemani seperti yang mengingatkan saya pada falsafah Ki Hajar Dewantoro, tut wuri handayani. Sebelum snack time dan free time, anak-anak juga diberikan kesempatan sepuluh menit untuk menonton Upin dan Ipin, hingga akhirnya diajarkan mengenal tanah dan tanaman. Kegiatan ini diakhiri dengan cuci tangan dengan sabun. Kami terkesima anak umur dua tahun dengan santai naik turun tangga tanpa takut jatuh.
[caption caption="Anak-anak belajar mengenal lingkungan tempat tinggal dan tempatnya belajar."]
Para pendidik di sini tahu bahwa anak-anak sebetulnya punya radar (insting), tetapi lingkungannya yang membuat radar itu tidak dipergunakan. “Kalau begitu yang namanya phobi itu tidak ada?” tanya saya. Egi menjawab bahwa phobi itu seharusnya tidak terjadi apabila orangtua dan lingkungan di sekitar anak tidak membuat anak-anak muncul takutnya. Hal itu (tidak sengaja) tertanam waktu kecil dan akhirnya menjadi phobi setelah dewasa.