Ruang utama Rumah Makan Rarempah Culinary Experience di kawasan Bulungan, Blok M pada Jum’at sore 26 Agustus 2016 apik ditata layaknya sebagai tempat talkshow. Saya salah satu di antara puluhan kompasianer yang hadir dalam acara Nangkring Kompasiana bertajuk “Ada Apa dengan Investasi Hulu Migas”, judul yang mengingatkan pada film popular Ada Apa dengan Cinta dilihat dari font huruf dan nuansa warna ceriah yang digunakan.
Hadir sebagai pembicara adalah Kepala Humas SKK Migas, Taslim Z Yunus. Alumnus geofisika ITB Bandung ini baru saja ditunjuk menjadi juru bicara salah satu instansi pemerintah yang cukup banyak diperbincangkan. Taslim meraih gelar Master of Management di bidang Manajemen Strategis pada Prasetya Mulya Business School pada 1997 dan gelar doktor bidang bisnis manajemen di Universitas Padjajaran pada 2008, tercatat pernah menjabat sebagai Vice President Representative BP Migas di Conoco Philips sejak 2008 hingga 2011. Taslim bahkan pernah disebut sebagai Calon Direktur Pertamina [1]
Taslim menggantikan pejabat sebelumnya Elan Biantoro untuk menjelaskan apa yang terjadi di hulu migas yang jadi kerap menjadi gunjingan di masyarakat, seperti kekeliruan antara apa yang menjadi tugas hulu dan hilir, apakah benar investor, terutama sudah menyangkut investor asing lebih diuntungkan dengan kontrak kerja pada prakteknya, apakah hanya dengan ketika diketahui terdapat sebuah sumber minyak dan gas di suatu daerah, maka pundi-pundi uang sudah di tangan? Yang juga tak kalah pentingnya apakah keuntungan bisa diraih dengan cepat dan kendala-kendala di hulu lainnya.
Pada era media sosial di mana sebuah isu bisa menyebar tak terkendali karena tidak seperti media mainstream yang selektif mengeluarkan informasi mengikuti aturan “cover both sides”, maka penyebaran di media sosial tidak mengenal itu. Hal yang sudah seharusnya dilakukan lembaga pemerintah berbicara dengan para blogger di luar dengan awak media mainstream, ibarat sebuah sungai untuk mengendalikan “arus gunjingan” agar tidak menjadi “arus liar”. Sepengetahuan saya bukan pertama kali Kepala humas SKK Migas berbicara di depan para blogger. Elan Biantoro pada tahun lalu melakukan hal yang sama beberapa kali. Angle pembicaraan sebetulnya tidak terlalu jauh beda, hanya saja ada tambahan up date data hingga permasalahan dalam soal investasi hulu migas ini.
Diskusi diawali dengan pemutaran film presentasi, antara lain mengungkapkan bahwa kegiatan eksplorasi hingga eksploitasi yang menjadi tugas hulu membutuhkan biaya yang besar, untuk itu negara membutuhkan partner dengan dana yang tak terbatas. Aturannya modal dan risiko ditanggung kontraktor (investor), hingga kontrak kerjasama tidak membuat negara menanggung risiko mempertaruhkan APBN. Dana talangan yang dikeluarkan oleh investor diperhitungkan dalam kontrak.
Cost Recoveryadalah pengembalian biaya operasional kepada investor dibayarkan dicicil dalam bentuk hasil dengan produksi migas. Kontraktor KKS akan menerima bagiannya berupa sejumlah volume minyak atau gas (in kind). Kalau tidak ada produksi, maka risiko ditanggung investor,” ujar Taslim.
Pemerintah mendapat bagian 85% dari hasil produksi setelah dikurangi recoverable cost (biaya yang diperhitungkan pada tahun itu), sementara kontraktor mendapatkan 15% dari produksi (setelah revenue dikurangi recoverable cost). Recoverable costdihitung dari angka yang paling kecil antara revenuedan cost recovery. Pihak SKK Migas terlebih dahulu menyetujui cost recovery dan cost recoverable ini. Kontraktor tidak bisa secara sepihak menentukan berdasarkan hitungannya sendiri {2]
Iklim investasi yang kurang kondusif juga terlihat dari rendahnya minat investor mengikuti lelang wilayah kerja (WK) migas yang dilakukan pemerintah setiap tahun. Salah satu masalah ialah investor migas yang sudah menang tender harus mengurus izin sebanyak 314 mulai dari izin di kementerian, lembaga sampai ke daerah tempat beroperasi. Sekalipun saat ini hanya tinggal 71 izin.
Penawaran 8 WK migas di 2015 tidak berhasil menetapkan pemenang. Lelang yang tidak laku menunjukkan Indonesia kurang atraktif bagi investor [3] Jeda waktu antara penemuan cadangan sampai dengan produksi, semakin lama, yakni antara 8-26 tahun. Sebagai contoh Blok Cepu ditemukan pada 2001, baru bisa full production pada 2016.
Menurut Taslim hingga Juni 2016, terdapat 289 Wilayah Kerja (WK) migas di Indonesia. Dari jumlah tersebut, rencana pengembangan 85 WK migas telah disetujui dan sudah memasuki fase eksploitasi. Sementara 204 WK migas masih dalam fase eksplorasi. Terdapat 67 blok yang berada dalam tahap produksi terdiri dari 15 blok yang berkontribusi sekitar 90% dari produksi nasional dan 5 blok berkontribusi sekitar 15% produksi nasional.
Kendala lain ialah sebagian besar lapangan-lapangan produksi saat ini merupakan lapangan yang berusia tua atau sudah berproduksi lama. Hal lazim yang terjadi pada suatu lapangan berproduksi, maka biaya produksi cenderung akan semakin membesar karena makin sedikit minyak yang tersedia dalam cekungan sehingga membutuhkan upaya lebih besar.