Sejak Juni 1960 warga Bandung-terutama ibu rumah tangga dan pemilik warung kopi-menjadi gelisah. Gula pasir yang ada di pedagang baik toko maupun warung habis terjual. Tak jarang warga Bandung pulang dengan tangan hampa, menimbulkan kesan bahwa alokasi gula untuk sekitar satu juta penduduk berkurang.
Harga gula jauh lebih tinggi dari apa yang telah ditetapkan Kantor Urusan Harga. Harga gula ditetapkan tidak boleh lebih dari Rp5,40 per kg, tetapi di pasar gelap harganya mencapai Rp7,50 per kg. Kenaikan hampir 50 persen. Harga gula Rp7,50 per kg itu pun dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi (Pikiran Rakjat, 1 Juli 1960).
Beberapa pengecer gula hingga awal Juli 1960 masih menerima jatah dari agen penjualan dengan pembatasan hanya 0,5 kg per orang per bulan. Diduga alokasi gula untuk umum lari ke industri untuk keperluan bahan bakunya (Pikiran Rakjat, 6 Juli 1960). Pada saat itu mendapatkan gila 0,5 kg per bulan merupakan hal yang wajar. Lebih dari itu sudah kemewahan.
Dugaan larinya gula untuk umum ke industri menjadi kuat karena perdagangan gula seluruhnya telah diawasi oleh instansi yang bersangkutan baik sipil maupun militer (Pikiran Rakjat, 15 Juli 1960). Beberapa industri menyangkut makanan seperti limun membutuhkan gula. Pedagang eceran gula yang ingin margin keuntungan lebih besar dan tidak ingin mendapatkan masalah hukum memilih opsi ini.
Pada 20 Juli 1960 Persatuan Pedagang Gula Indonesia di Jawa Barat dalam konferensi pers mengungkapkan kesulitan pengakutan melalui KA atau truk yang mengalami pemebatan bensin. Mereka mengakui adanya gelegenheid profeterus, atau ada pihak yang mengunjungi kantor PPGI dengan memakai taktik ancaman.
Alokasi peredaran gula di Jawa Barat untuk 1960 sebesar 92.200 ton untuk 16,8 juta penduduk. Itu artinya seharusnya memang satu orang mendapatkan 0,5 kg gula per bulan (Pikiran Rakjat, 21 Juli 1960). Namun untuk itu pun belum terpenuhi. Para ibu rumah tangga lebih banyak menggunakan gula merah untuk masak, karena untuk mendapatkan gula di pasar gelap kenaikannya mencapai 100%.
Pada Oktober alokasi gula untuk Kota Bandung diperkirakan tinggal 58,5% sejak 1958. Pikiran Rakjat edisi 22 Oktober 1960 mengungkapkan bahwa alokasi itu sudah berkurang 20%, jadi tinggal 80%. Dari jumlah itu dikurangi lagi sebanyak 20% atau 16% hingga tinggal 64%. Dari jumlah 64% itu masih dipotong sepuluh persennya lagi atau 6,4% untuk keuntungan golongan-golongan sesuai dengan kebijakan penyaluran di daerah hingga didapat angka 58,5%.
Untuk mengontrol para pengecer agar tidak “bermain” menghidupkan kembali sistem kartu yang pernah berlaku sebelumnya adalah jalan keluar yang diusulkan. Dengan sistem kartu pengecer sukar menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Tiada Minyak Tanah, Kayu Bakar pun Jadi
Bandung juga bukan saja terancam saja krisis gula, tetapi juga minyak tanah. Peredaran minyak tanah di Bandung tidak mencukupi kebutuhan warganya. Kalaupun didapat harganya naik tiga kali lipat. Kesukaran mendapatkan minyak tanah membuat masyarakat Bandung yang berada di perkampungan kembali menggunakan kayu bakar untuk memasak (Pikiran Rakjat, 19 Juli 1960).
Krisis minyak tanah terus berlarut. Pada September 1960, Ketua Gabungan Agen Minyak Bakar dan Lumas (Gamibalu) Rahmat Effendi menyatakan kesukaran akan minyak tanah yang dirasakan oleh masyarakat Bandung disebabkan kebutuhan pemakai minyak tanah tumbuh lebih besar, namun ironisnya alokasinya justru berkurang.