[caption caption="Menggiling dan Mneumbuk Bati di Buah Batu Bandung 1955 (ilustrasi)"][/caption]
Hari masih pagi sekitar pukul 6.00. Seorang pegawai stasiun di Stasiun Padalarang mendapatkan telepon dari stasiun Sasaksaat (stasiun kecil antara Purwakarta dan Padalarang) bahwa ada kereta api dari Purwakarta menuju Bandung membawa beras dalam sebuah gerbong. Pada waktu itu, 6 Agustus 1958 aksi para petualang yang membuat mainkan harga beras sudah menjadi rahasia umum. Pegawai itu segara melapor ke kepala stasiun dan atasannya ini menghubungi polisi.
Aparat tiba di stasiun kereta api tiba. Mereka memeriksa gerbong demi gerbong kereta api 2328. Sewaktu diperiksa rata-rata gerbong tampak kosong, kecuali satu pintu tertutup, tidak terkunci. Polisi kemudian mengetuk pintu gerbong nomor 8603 itu, pintu terbuka dan mendapatkan puluhan karung beras. Orang yang di dalam keluar karena mengira sudah tiba di Bandung dan yang mengetuk disangka kawannya. Ternyata yang dihadapannya petugas kepolisian.
Pikiran Rakjat edisi 7 Agustus 1985 melaporkan bahwa sepuluh orang termasuk dua wanita ditangkap. Para petualang itu mengaku diajak untuk membawa beras dari Cikampek ke kota Bandung, menghabiskan uang Rp700. Sebanyak 48 koli beras atau setara dengan 2880 Kg disita polisi.
Peristiwa ini merupakan salah satu kejadian bahwa praktek mafia ekonomi sudah ada semenjak 1950-an hanya saja bentuknya lebih mudah dideteksi. Di Jawa Barat “mafia beras” adu kuat dengan aparat kepolisian, namun sebetulnya militer. Masa itu militer masih memainkan peranan untuk menghadapi kejahatan ekonomi karena mereka sekaligus penanggungjawab keamanan dengan masih merajalelanya Darul Islam.