Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1956 (6) Heboh Pamflet Front Pemuda Sunda dan Terbentuknya DPRD Peralihan: Dinamika Politik Agustus-September

1 Maret 2014   21:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:20 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada dua momen penting yang terjadi pada Agustus 1956 dalam sejarah Jawa Barat dan juga Bandung.Panglima Teritorial III Siliwangi Kolonel Kawilarang diganti olehDadang Suprayogi.Pikiran Rakjat 14 Agustus 1956 menyebutkan pangkatnya masih Letnan Kolonel sewaktu serah terima pada paarde raksasa di Lapangan Diponegoro. NamunAlexander EvertKawilarang dalam autobiografinya menyebutkan pangkatnya Kolonel.1

Serah terima dilaksanakandi Lapangan Diponegro Bandung pagi hari 14 Agustus 1956 dengan parade raksasa.Dalam upacara hadir Menteri pertahanan Mayor Jendral AH Nasution, yang juga mantan Panglima Siliwangi dan Gubernur Jawa Barat sanusi Hardjadinata.Resepsi kemudian dilangsungkan di Hotel Homman.Dengan serah terima itu berakhirlah masa tugastokoh yang cukup menarik sepak terjangnya di Jawa Barat. Kawilarang bukan saja punya peran di bidang militer, tetapi juga dunia olahraga Jawa Barat.

Pada 17Agustus 1956, Front Pemuda Sunda melakukantindakan yang menggemparkan.Ketika Presiden Soekarno berpidato memperingatkan hari kemerdekaan, organisasi ini menyebarkan pamphlet yang ditandatangani oleh Adeng S. Kusumawidjaja sebagai Ketua I dan Adjam S. Samsupradja sebagai Sekretaris JenderakIsi selebaran itu menyerang PNI, Bung Karno, serta imprealisme Jawa dan cetusan pemuda Sunda atas kepincangan yang terjadi di Jawa Barat (Lubis, 2003,hal.296).

Di kota Bandung tindakan ini mendapatkan reaksi beragam. Pimpinan Harian Badan Musyawarah Sunda di Jakarta segera mengeluarkan pernyataan bahwa organisasinya tidak ada hubungan dengan Front Pemuda Sunda.PNI Jawa barat mengadakan sidang darurat pada minggu malam 19 Agustus 2014. Sekjen PNI Jawa Barat S. Rivai menyatakan bahwa Front Pemuda Sunda merusak nama baik PNI (Pikiran Rakjat, 20 Agustus 1956).

Beberapa ahri kemudian Badan Musyawarah Sunda melangsungkan rapat presidium di Bandung. Rapat itu dihadiri oleh Daya Nonoman Sunda, Mitra Sunda, Nonoman Sunda dan Putra Sunda.Mereka membicarakan persoalan yang timbul akibat isi surat selebaran Front Pemuda Sunda. Rapat itu mengelaurkan pernyataan bahwa isi surat selebaran Front Pemuda Sunda adalah cetusa jiwa pemuda-pemuda Sunda yang telah lama tertekan akibat kepincangan dan ketidakadilan.

Badan Musyawarah Pemuda Sunda tidak dapat menerima tuduhan yang dilancarkan oleh golongan tertentu (yang dimaksudkan PNI) bahwa pernyataan itu bersifat memecah belah persatuan bangsa. Malah mereka balik menuduh bahwa PNI yang member kesan memecah belah, berpikir sempit dan reaksioner (Pikiran Rakjat, 1 September 1956).

Padaawal September 1956 Panglima Siliwangi Dadang Suprayogimengeluarkan pengumuman untuk menindak mereka yang menyebarkan pamlet. Dalam pengumuman tertulis lainnya yang ditandatangani letkol Kosasih surat selebaranitu dibuat oleh beberapa golongan dan isinya mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan pada golongan lain.Hal ini dianggap membahayakan persatuan,keamanan dan ketertiban umum di Jawa Barat.

Dalam surat ini disebutkan agar aspirasi disalurkan melalui jalan yang tidak melanggar undang-undang.Mereka yang menyebarkan selebaran itu akan dituntut dan pengusaha percetakan juga dapat terkena sangsi .Para pengusaha percetakan bukan hanya dituntut,tetapidapat disita alat-alat bahkan usahanya ditutup.

Ekor dari peredarnya pamflet dari Front Pemuda Sunda lima anggota parlemen, seperti Gatot Mangkupradja, Ardiwinangun, Djerman Prawiradinata, Katamsi Sutisnasendjaja dan Ino Garnida menyampaikan pertanyaan kepada pemerintah.

1.Apakah pemerintah menegtahui latar belakang dan sebab musabab yang mengakibatkan letusan rasa ketidakpuasan kedaerahan seperti dimaksud?

2.Bila pemerintah mengetahuinya apakah pemerintah bersedia memberi keterangan tentang latar belakang dan sebab musabab tentang soal itu?

3.Dan dalam hal demikian tindakan apakah yang akan diambil oleh pemerintah untuk menghentikan dan kemudian menghilangkan soal-soal yang melatarbelakangi lahir dan hidupnya perasaan ketidakpuasan (Pikiran Rakjat, 5 September 1956).

Rasa kurang puas juga terjadi di kalangan mahasiswa Fakultas Teknikdan Fakultas Ilmu Pasti dan Alam di Bandung, terutama di kalangan mahasiswa warganegara asli.Mereka menyebutkan bahwa 80% mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan alam dikuasai oleh orang-orang Tionghoa. Hingga masa itu sudah ada sebutan bahwafakultas itu adalah Fakultas Tionghoa.Para guru (dosen) yang bukan dari kalangan warganegara asli dituding bersikap diskriminatif terhadap mahasiswa dari warganegara asli dengan mencari-cari kesalahan kecil, umpamanya kurang sempurna menulis untuk memperlambat waktu belajarnyasehinggamereka mengulang pelajaran.

Mahasiswa kalangan warganegara asli menuding mahasiswa asing lebih diperhatikan pemerintah dalam pembiayaan dan mahasiswa arganegara asli selalu mendapatkan kesulitan keuangan terlebih-lebih yang menerima ikatan dinas.Selain itu mahasiswa menuduh pemerintah mereduksi pembiayaan pembelian buku, hingga hanya mahasiswa yang beruang yang bisa membeli.Sementara mahasiswa warganegara asli banyak yang harus mencari nafkah.(Pikiran Rakjat, 1 September 1956).

Serangan Gerombolan Bersenjata

Ketika ketidakpuasan dikalangan pemuda terpelajar di Jawa Barat meluas,masalah keamanan juga menunjukkan peningkatan.Pada September 1956 serangan yang dilakukan gerombolan bersenjata di kawasan Priangan sangat merusak dan banyak memakan korban jiwa.Beberapa serangan bahkan menunjukkan keunggulan gerombolan dilihat dari target yang mereka serang. Kerugian tersebutdi kalangan tentara dan sipil hanya dalam dua minggu saja.Tidak terlalu jelas apakah yang melakukan gerombolanDarul Islam atau kelompok lain.

Pada 5 September 1956 sekitar 400 orang bersenjata menyerang pos polisi Panagndaran dan Desa Cikembulan, Ciamis.Pertempuran menjalar hingga di dalam Kota Pangandaran.Sebanyak 82 rumah dibakar dan serangan-serangan ini menyebabkan isteri camat Pangandaran, dua anggota TNI dan seorang anggota OKD tewas dan tiga orang lainnya luka berat (Pikiran Rakjat 7 September 1956).

Pada Jum’at 14 September 1956 pos tentara Kompi Idari Batalyon 314 di Desa Payung, Rajagaluh, Majalengka diserang sejumlah gerombolan bersenjata lengkap.Dalam tembak-menembak 6 tentara gugur dan 7 pucuk senjata api dirampas gerombolan.Dalam penyerangan itu beberapa orang warga desa terbunuh.Sebuah bivak tentara juga dibakar gerombolan.Tak diketahui korban di pihak gerombolan (Pikiran Rakjat, 15 September 1956).

Keesokan harinya, Sabtu malam 15 September 1956 giliran Ciawi diganggu gerombolan bersenjata.187 rumah penduduk, sebuah mesjid, sebuah sekolah rakyat dan sebuah pos tentara dibakar. Jumlah kerugian sebanyak Rp353.900.Korban jiwa yang jatuh 8 orang warga dan seorang anggota OKD, sementara 6 warga lainnya luka berat(Pikiran Rakjat, 18 September 1956).

Masalah sosialsebagai akibattidak kunjungnya selesainya masalah keamanan di Jawa Barat, membuat Gubernur Sanusi Hardjadinata ekstra kerja keras.Pada September 1956 Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Rencana Anggaran Belandja sebesarRp 240 juta untuk rehabilitasi daerah-daerah yang tidak aman selama satu tahun, yakni September 1956 hingga Agustus 1957. Sebanyak 214 dari 360 kecamatan yang ada di Jawa Barat masa itu dipandang sebagai tidak aman.

Sanusi Hardjadinata ikut serta dalam konferensi antar gubernur di Malangmembawa beberapa usulan. Antara lain cara penetapan pembelianpembelian padi oleh pemerintah.Rumusan yang dibawa dari Jawa Barat antara lain luas sawah yang dihitung dari 90% luas sawah kotor sebagai luas sawah bersih. Dari luas sawah yang bersih dihitung produksi padi tiap-tiap ha dikurangi kebutuhan makanan rakyat di daerah itu. Ketentuannya sejumlah besar jiwa daerah itu dikalikan 800 gram padi untuk tiap harinya.Sebanyak 50% hasil terakhir diusulkan dibeli rakyat daerah itu untuk persedian daerahnya sendiri dan 50 persen lagi baru dibeli pemerintah(Pikiran Rakjat, 7 September 1956).Usulan itu tampaknya untuk mengantisipasi kekurangan beras di daerah Jawa Barat sendiri. Jangan sampai daerah yang menghasilkan padi justru menderita kekurangan padi.

Terbentuknya DPRD Peralihan

Dalam Septembermereka yang duduk dalam DPRD Peralihan Propinsi Jawa Barat,Kabupaten Bandung dan Kota Besar Bandung sudah mulai diketahui nama-namanya. Mereka dilantikjuga dalamSeptember 1965. Untuk Propinsi Jawa Barat, PNI memperoleh 14 kursi dan Masyumi 16 kursi (total 60 kursi) merupakan kekuatan politik yang dominan. Partai lainnya adalah PKI 7 kursi, NU sebanyak 6 kursi, PSII sebanyak 4 kursi, IPKI sebanyak 4 kursi, PSI sebanyak 2 kursi, serta 6 partai lainnya memperoleh 1-2 kursi.Ada beberapa tokoh yangcukup menarikmenjadi anggota untuk parlemen Jawa Barat ini.

Mulanya DPRD Peralihan ini dipimpin orang tertua, yaitu dr. Djundjunan Setiakusumah (PNI) , tokoh pendiri paguyuban Pasundan pada 1914. Tokoh ini disebutkan bukan seorang garis keras dalamorganisasi kedaerahan itu. Pada masa pergerakan Djundjunan pernah menjadi anggota Budi Utomosewaktu menjadi mahasiswa di STOVIA. Sewaktu aktif di Budi Utomo, Djundjunan tidak memisahkan sayap Sunda dan Jawa.Dia juga aktif dalam organisasi Indische Partijdi Jakarta.Djundjunan juga membantu pekerjaan propaganda penyebaran Sarekat Islam di Jakarta Selatan. 2

Dari track record-nya semasa pergerakan tampaknya membuat Dokter kelahiran 1888 ini bisa diterima di kalangan nasionalis maupun Islam. Djundjunan juga merupakah salah seorang dokter pertama lulusan STOVIA. Sebagai profesional ia bekerja sebagai dokter di Rumah SakitGemeente Juliana di Bandung (Kemudian menjadi Rumah Sakit Rancabadak dan sekarang menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin).3Pada waktu rumah sakit itu beroperasi hanyaada 6 dokter berkebangsaan BeLanda dan 2 orang dokter berkebangsaan Indonesia, yaitu dr. Tjokro Hadidjojo dan dr. Djundjunan Setiakusumah.4

Sesudah sidang pertama DPRD Peralihan Jawa Barat pada Senin 24 Setember 1956 Oja Sumantri terpilih menjadi Ketua dengan 43 suara. Politisi dari Masyumi ini pernah menjadi anggota DPRDS Jawa Barat.Pada 26-29 Desember 1956Oja juga menjadi Ketua Panitia Muktamar Masyumi ke 8 di Bandung. Dia bukan orang baru di dunia politik lokal Jawa Barat, bahkan juga perjuangan bersenjata dalam perang kemerdekaan.

Dalam sebuah referensi disebutkan setelah terjadinya Persetujuan Renville dan kesatuan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta, sejumlah lascardi Jawa Barat tidak ikut serta. Di antaranya adalah Kaum gerilyawan Divisi 17 Agustus pada tanggal 17 Agustus 1948 mengumumkan terbentuknya Pemerintah Republik Jawa Barat (PRJB). Divisi 17 Agustusini menjadi badan ketentaraan PRJB dengan nama Divisi Gerilya 17 Agustus, dipimpin Oya Sumantri (orang Sunda, pimpinan Masyumi setempat) sebagai ketua dan Wahidin Nasution sebagai Wakil Ketua.

PRJB merupakan pemerintah, bukan negara, mengeluarkan pernyataan bahwa mereka setia pada prinsip-prinsip semula dari Proklamasi 1945.Mereka juga setiakepada Soekarno-Hatta. Namun PRJB menolak semua subordinasi kepada pemerintah RI, khususnya Persetujuan Renville. Mereka meneruskan oposisi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah RI, tetapi tidak menentang legitimasi RI. Oya Sumantri masa itu merupakan pimpinan Masyumi di Purwakarta. 5

Nama lain yang muncul di DPRD PeralihanJawa Barat adalah Anwar Isnudikarta.Kelahiran Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, 10 Maret 1923 ini merupakan wakil PartaiSosialis Indonesia.Tamatan Sekolah Menengah Pertanian Tinggi ini memimpin harian Barisan Rakyat di Cirebonantara 1945-1947 dan menjadi tahanan Belanda pada 1947 hingga 1949. Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Penerangan Keresidenan Cirebon 1949-1950. Dia juga menulis sejumlah puisi dan dihimpun oleh HB Jasin.6

Dalam sambutannya terhadap pelantikanDPRD Peralihan JawaBarat di Gedung Dwi Warna pada Sabtu 22 September 1956, Gubernur Sanusi Hardjadinataantara lain mengatakan.

“..Rakjat lebih mengharapkan supaja usaha-usaha DPRD Peralihan ditudjukan untuk mentjukupi kebutuhan sehari-hari, di antaranja lapangan di lapangan-lapangan pembangunan, perekonomian, pendidikan, pengadjaran, perumahan, kesehatan dan lain-lain sebagainja..(Pikiran Rakjat, 24 September 1956)

Sanusi berharap DPRD merealisasikan tercapainya otonomi seluas-luasnya dan mengambil langkah-langkah ke arah pengumpulan bahan-bahan untuk mempersiapkan rencana anggaran keuangan untuk tahun 1957. DPRD Peralihan juga diharapkan melanjutkan sisa-sisa acara yang tak dapat diselesaikan DPRD Jawa Barat.

Sementara untuk DPRD Peralihan Kabupaten BandungMasyumi mendapat 8 kursi, PNI 6 kursi, PKI 5 kursi, NU 2 kursi, IPKI 2 kursi dan PDR 1 kursi. Di antara nama-nama yang muncul adalah Sopandi Idjradinatadalam beberapa sumber disebut sebagai ajengan di Majalaya, Ny. Rumini, (Masyumi)7. Dari PNI terdapat nama Ny. Suwarsih Ardisasmita, Omon Garniwa. Sementara untuk DPRD Peralihan Kota Besar Bandung PNI memperoleh 6 kursi, PKI 6 kursi dan Masyumi 4 kursi, sisanya NU, PSI, GPPS, Baperki, PRIM dan PSII.

Di antara anggota parlemen Kota Besar Bandung dari Masyumi terdapat nama R. Umar Suraatmadja yang pernah menjadi anggota DPRD Kota Besar Bandung, dari PNI juga ada muka lama Nogi Amir Hakim. Tokoh lain ialah Nyonya Amartiwi Saleh, aktifis Partai Sosialis Indonesia (satu-satunya kursi PSI) yang kelak menjadi pengacara yang banyak membela aktifis (Pikiran Rakjat, 4 dan 11 September 1956). 8

Irvan Sjafari

Catatan Kaki

1.A.E Kawilarang dalam autobigografinya Untuk Sang Merah Putih, Jakarta: Sinar Harapan, 1988 yang ditulis oleh Ramadhan KH menyebutkan penggantinya sudah berpangkat Kolonel. Begitu juga kronik sejarah Kodam Siliwangi. http://www.siliwangi.mil.id/lengkapnya.php?id=16 diakses pada 1 Maret 1956.

2.Yong Mun Cheong, “Conflicts within the Prijaji World of the Parahyangan in West Java 1914 1927”, dalam Jurnal ISEAS, Singapore, Field Report series, No.1 Januari 1973 hal 14-15

3.Ensiklopeda Umum, Jakarta: Kanisius, 1973

4.Rizky Mulya Nugraha, Peranan Humas Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin Bandung Melalui Kegiatan Konferensi Pers Dalam Memberikan Informasi Kepada Publik Eksternalnya, SkripsiSarjana Unikom Bandung, 2013

5.Suharto“Tentara Rakyat di Banten Selatan: Kekuatan Terakhir Pembela Tan Malaka” (penulis Dosen pada Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia,dalam

http://arie-widodo.blogspot.com/2013/02/tentara-rakyat-di-banten-selatan_19.html

diakses pada 28 Februari 2014.Lihat juga Rober Cribb, Gangsters and Revolutionaries: The JakartaPeople’sMilitia and TheIndonesia Revolution 1945-1949, Jakarta Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2009.

6.Korie AyunRampan, Leksikon Susastra Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Hal 364.

7.http://rama-majalaya.blogspot.com/2008_10_01_archive.html diakses pada 28 Februari2014.

8.Dalam http://socio-politica.com/2010/01/16/kisah-jenderal-soemitro-dan-peristiwa-15-januari-1974-5/ disebutkan… Pertemuan Minggu pagi 9 Desember 1973 yang berlangsung hingga sore, menjadi forum dengan campuran hadirin yang menarik. Peserta datang dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan seniman, dan berasal dari lintas kota dan lintas generasi. Ada pengacara vokal dari Bandung ibu Amartiwi Saleh SH dan pengacara vokal lainnya dari Jakarta Adnan Buyung Nasution SH. Ada budayawan ‘tukang protes’ W.S. Rendra, ada deretan cendekiawan dari Jakarta maupun Bandung, seperti Drs Wildan Yatim yang menunjuk dwifungsi ABRI sebagai penyebab kaburnya hukum…Dalam Kompas5 oktober 1995disebutkan Ny. Amartiwi Saleh membela Sri Bintang Pamungkas dalam kasusnya..

Referensi lain:

http://sejarah.kompasiana.com/2013/12/31/bandung-1956-3-mutasi-bupati-bandung-male-wiranatakusumah-dan-front-pemuda-sunda-621138.html

http://sejarah.kompasiana.com/2012/05/12/bandung-1952-10-isu-dalam-konferensi-bahasa-sunda-456835.html

Lubis, Nina Herlina dkk, Sejarah Tatar Sunda 2, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2003.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun