Beberapa hari yang lalu ketika saya hunting sebagai jurnalis, saya menumpang Transjakarta Jurusan Pulogadung-Grogol lewat Diponegoro-RSCM, tempat tujuan saya. Dari seorang staf, saya dapat informasi bahwa pada tanggal 18 Agustus mendatang PPD 213 Grogol-Kampung Melayu sudah tidak beroperasi lagi, menyusul PPD Grogol-Pulogadung yang juga menghilang dari jalanan Jakarta. Selain itu saya sudah tidak melihat lagi sejumlah line bus, misalnya Blok M-Tanjung Priok, Blok M-Pulogadung, Blok M-Rawamangun dan sejumlah trayek lain yang sudah punah. Apalagi sudah ada rute lain Grogol-Kampung Melayu.
Kehadiran Transjakarta harus diakui membuat sistem transportasi –-sekalipun masih memerlukan waktu untuk sempurna-- sudah menunjukkan hasilnya. Usaha Pemprov DKI Jakarta dengan memperluas bus pengumpan membuat penumpang kendaraan umum menjadi lebih aman (setidaknya dari copet dan pengamen) di sejumlah trayek yang strategis. Transjakarta yang melayani UI-Manggarai perlahan akan membuat metromini S 62 Tanjung Barat –Manggarai punah. Transjakarta rute baru lainnya ialah Bekasi MM–Bundaran HI, Bekasi MM-Tanjung Priok, Bekasi Timur-Grogol, Lebak Bulus-Kota (yang diprediksi menggantikan Kopaja regular S 20 yang pelan-pelan ditarik) dan masih ada belasan rute lainnya.
'Spesies' angkutan umum yang juga di ambang kepunahan ialah Mikrolet M 44 karena Transjakarta juga masuk jalur Casablanca. Tinggal tunggu waktu saja sampai Kopaja regular melayani line Tanah Abang-Blok M yang berapa kali dikeluhkan rawan kriminal, akan segera punah. Orang yang biasanya hidup dari keringat supir-supir angkutan umum siap-siap beralih profesi. Saya harap mereka terus terang memohon pekerjaan kepada Gubernur DKI Jakarta Ahok, dan membuktikan bahwa pekerjaan yang tidak lagi harus mengandalkan otot dan wajah seram.
Kehadiran angkutan umum di luar Transjakarta yang masih diperlukan terutama yang melayani rute 'jalan kampung' seperti Benhill atau Karet ke Roxy Mas melalui Tanah Abang, KWK 01 Blok M-Pondok Labu lewat jalur 'jalan kampung' lainnya Cipete-Cilandak, angkot yang melayani rute wilayah Depok ke Jakarta, yang bisa terhubung dengan Transjakarta, seperti KAB 61 atau Mikrolet 20. Angkot-angkot jalur ini relatif aman dari pencopet.
Tinggal menunggu solusi Pemprov DKI Jakarta untuk jalur Pondok Labu-Blok M lewat Fatmawati yang dilayani S610. Kehadiran MRT pada 2018 kalau tidak ada aral melintang membuat mereka juga menyusul punah. Apalagi kalau Pemprov DKI Jakarta membuka feeder juga di jalur ini. Dengan ongkos Rp 3500 bisa membuat penumpang berpikir naik Metromini. Tinggal tunggu waktu saja sampai Metromini, Kopaja dan PPD dikenang dalam sejarah dan masuk museum transportasi. Kalau itu terwujud para kriminal tidak lagi mudah beraksi di angkutan umum. Pelaku pelecahan seksual saja tertangkap.
Dalam hal ini saya harus mengakui bahwa kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sudah menampakkan hasil. Saya khawatir kalau Sandiaga Uno dan calon lain tidak punya solusi apa pun dalam soal transportasi ini, selain tetap akan meneruskan Transjakarta dan MRT. Sekalipun juga program Transjakarta dan MRT bukan murni Ahok, tetapi hanya meneruskannya. Tetapi pengembangannya adalah kebijakan Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok.
Para Politisi Naiklah Kendaraan Umum
Saya menganjurkan kepada pengkritik Ahok, kalau ingin tahu seperti apa problem Jakarta, terutama politisi-politisi di Kebon Sirih it,u naiklah angkutan umum kalau ada keperluan di Jakarta. Duduk di depan dekat Pak Supir kalau bisa, ajak ngobrol dan dengarkan problem mereka. Dengan naik angkutan umum Anda akan tahu mengapa terjadi macet di Jakarta- di antaranya semua supir angkutan menuding keberadaan motor dan mobil pribadi-dan bagaimana mereka harus cari setoran, membayar upeti pada siapa saja di jalan, susahnya mereka menyisihkan uang untuk bensin dan dapur, hingga kehadiran para pengamen (ada yang menyenangkan dan bagus suaranya, tetapi juga dengan mengancam), anak-anak jalanan dan problem lainnya. Anda akan tahu mengapa orang tua lebih suka mengantarkan anaknya naik mobil pribadi ke sekolah atau malah mengizinkan membawa kendaraan pribadi? Itu yang harus diketahui, bukannya naik mobil pribadi dengan supir dan Anda semua bisa baca koran atau buka tablet di jok belakang.
Dari sana Anda akan tahu bahwa problem kemacetan bukan hanya tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta saja, tetapi juga pemerintah pusat. Siapa mengizinkan satu keluarga bisa memiliki lebih dari satu mobil? Siapa mengizinkan memiliki motor begitu mudah, bahkan tanpa DP. Bisa-bisanya pelajar belum usia 17 tahun bisa membawa motor. Bagaimana ceritanya mereka bisa memiliki SIM? Mengapa para pekerja dan pegawai kantoran lebih suka naik motor? “Irit!” teriak Pak Effendy mantan marketing di kantor saya dahulu. Dengan bensin dua liter saja bisa untuk dua hari kerja plus mengantarkan anak. Coba saja tengok persyaratan lamaran di koran atau di media online untuk posisi tertentu: punya kendaraan pribadi diutamakan.
Coba bikin sistem naik kendaraan umum jadi lebih murah dan lebih aman. Transjakarta memang harus diperluas dan keberadaan bus sekolah yang aman dan nyaman bisa menjadi alternatif berikutnya. Saya percaya Ahok akan melakukan langkah-langkah itu, karena blue print-nya sudah bisa dibaca masukan untuk Gubernur Ahok ke depannya kalau terpilih lagi, bus sekolah ini lebih diperbanyak dan pada jalur yang rawan tawuran minta bantuan kenek seorang polisi atau polwan. Kalau perlu supirnya purnawirawan bintara yang galak. Untuk Jakarta memang butuh orang yang keras dan tegas tetapi tidak bertindak serampangan. Alternatif lain kalau bus sekolah tidak bisa menjangkau wilayah tertentu, Pemprov DKI Jakarta memberi kesempatan pada usaha jempur antar anak sekolah
Kalau ongkos naik kendaraan bisa dibikin lebih murah, lebih nyaman (Transjakarta ditambah unitnya hingga frekuensinya bisa lebih cepat) dan makin aman, sterilisasi jalur bus way dijalankan dengan konsisten, maka hitung-hitungan kepraktisan naik kendaraan pribadi di Jakarta akan makin berkurang. Tetapi apakah penggunaan kendaraan pribadi akan berkurang?