Bandung dan Malang punya kesamaan menjadi kota pelajar maupun kota yang dinilai berhawa sejuk, kuliner juga baik, tetapi bagaimana dengan biaya hidup?Â
Sejak masih menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra UI (sekarang FIB UI) saya hanya melirik dua kota untuk tempat tinggal terakhir, yang saya anggap sebagai tempat yang nyaman dan sudah saya pelajari sejarah dan potensinya untuk apa yang bisa dilakukan. Kedua kota itu adalah Bandung di Jawa Barat dan Malang di Jawa Timur.
Belakangan yang disebut Malang bisa jadi Kota Batu, sementara Bandung itu bisa jadi Lembang atau Ciwidey. Belakangan saya tahu bahwa yang disebut nyaman itu adalah slow living.Â
Salah satu alasan utamanya mirip dengan apa yang diungkapkan Jujun Juanaedia untuk Bandung yaitu dikelilingi panorama alam yang memesonakan dan tempat untuk healing yang baik.
Begitu juga dengan bangunan bersejarah yang bisa menjadi slow living menjadi romantis historis dan aneka macam kuliner. Alasan utama juga berlaku untuk Malang. Tipe kulinernya memang berbeda, tetapi polanya sama.
Kedua kota juga sama-sama ada tempat untuk turis backpacker maupun premium. Kedua kota punya hotel tua yang jadi ikon, Bandung punya Savoy Homann, Grand Preanger, Malang punya Hotel Pelangi, Splendid Inn.
Ruang Terbuka Hijau Bandung masih baik walau kurang memadai dari persyaratan hidup sebuah kota yaitu 12 persen, sementara Malang lebih baik 17 persenan. Sementara persyaratan ideal adalah 30 persen.
Agak sukar dikejar kedua kota, betapa hebat pun pemerintah kota masing-masing menggenjot RTH. Bandung saya prediksi bisa naik ke 15 persen sudah bagus dan Malang mencapai 20 persen.
Hanya saja Bandung lebih crowded dengan perbandingan jumlah kendaraan dan populasi pendidikan 1:1-sekalipun kebanyakan sepeda motor dan Malang lebih lega.
Jumlah kendaraan bermotor di Kota Malang menurut BPS sekitar 270.327 buah sepeda motor dan 78.136 mobil penumpang. Kalau ditotal dengan truk dan bus sekalipun rasionya separuh dari populasi kota, kira-kira.