Ecobrick menjadi tren untuk mengatasi masalah sampah plastik yang diinisiasi berbagai pihak. Namun aktivis lingkungan menilai bukan solusi jangka panjang.
Jika Anda berkunjung ke Desa Mekargalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Anda akan menemukan sebuah monumen yang menjadi ikon desa itu.
Monumen Mekargalih itu terbuat dari ribuan ecobrik, bata yang dibuat dengan cara menekan sampah plastik ke dalam botol plastik kosong. Sampah residu plastik ini tidak dapat daur ulang, seperti saset kemasan makanan dan minuman, kemasan makanan.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Garut dengan program Kang Raling (Kampung Ramah Lingkungan) meresmikan monumen ini sebagai bagian yang disebut sebagai Gebyar Ecobrick pada 31 Agustus 2024 lalu.
Koordinator fasilitator Kang Raling, Tini Martini Tapran mengatakan Program Ecobrick ini memberdayakan 372 anggota dari 15 kelompok Program Keluarga Harapan (PKH) dari 9 RW Desa Mekargalih.
Sejak program ini dimulai Mei hingga akhir Agustus masyarakat yang terlibat mampu menyulap 848,406 kilogram sampah plastik menjadi 3.184 ecobrick.
Capaian ini juga menakjubkan karena itu artinya dalam sebulan warga mampu mereduksi lebih 200 kilogram plastik jadi 700-800 bata ecobrick. Sehari warga bisa meluangkan waktu membuat 20-25 bata ecobrick.
Untuk mendorong masyarakat agar mau membuat ecobrick DLH Kabupaten Garut bersedia menghargai setiap ecobrick yang jadi dengan nominal Rp2.500. Kalau dikumpulkan maka masyarakat bisa membeli sembako.
"Tujuan utama program ini sebetulnya bukan pengumpulan ecobrick tetapi mengubah oaradigma masyarakat Garut tentang kebersihan dan Alhamdullilah mulai menampakan perubahan," ujar Tini ketika saya hubungi 3 September 2024
Ecobrick bisa dibuat berbagai macam hal bukan hanya monument atau dinding, tetapi juga mebel bahkan bisa dibuat rumah. Hanya saja ujar Tini, Ecobrick bukanlah solusi jangka panjang.