Bagi saya bukan hal aneh maka akhirnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menghapuskan penjurusan IPA, IPS dan Bahasa mulai tahun ajaran baru 2024/2025. Â Penghapusan penjurusan itu merupakan tindak lanjut dari penerapan Kurikulum Merdeka.
Saya sudah membayangkan hal itu dan ketika masih dalam bentuk Kurikulum Protype 2022 seperti yang pernah saya tulis di Kompasiana pada 31 Desember 2021, sebagai hal yang menyenangkan. Â Seandainya saya siswa SMA kelas 1 saya menyambut gembira, karena saya bisa meracang mata pelajaran yang saya sukai dengan proyeksi masuk perguruan tinggi ke jurusan yang saya suka.
Baca: Kurikulum Prototipe 2022? Tampaknya MenyenangkanÂ
Misalnya saya mau kuliah di jurusan Jurnalistik, ya selain Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris juga Sejarah yang  wajib, saya mengambil pilihan  Antropologi, Sosiologi, Ekonomi, mungkin juga Lingkungan Hidup, karena sudah keniscayaan bahwa persoalan itu isu krusial masa mendatang.  Saya telusuri internet ada SMA yang menjadikan Lingkungan Hidup sebagai pelajaran.
Kalau saya mau masuk kuliah Pertanian? Ya, tidak usah belajar Fisika, cukup Biologi dan Kimia, Â tetap saja belajar Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, serta Lingkungan Hidup.Â
Serius, saya sampai menyesalkan mengapa tidak puluhan tahun lalu diterapkan? Bukankah tidak ada Jurusan IPA, IPS dan Bahasa yang imajinasinya adalah pengkastaan? Ketika saya tadinya di IPA kemudian pindah IPS sekalipun rata-rata nilainya biasa saja, tetapi karena dari IPA dianggap tinggi dibanding murid-murid yang IPS? Â Bahkan pengistimewaan ini berpotensi memicu konflik Geng IPA dan Geng IPS.
Jadi ada dua hal ya, yang membuat saya gembira terhadap kebijakan Kemendikbud Ristek untuk hal ini. Yang pertama, belajar itu menjadi menyenangkan, yang kedua, tidak ada lagi kasta-kastaan yang membuat masalah psikologis  di kalangan siswa.
Sebaliknya dengan sistem yang bisa moving class ini, saya (seandainya duduk di SMA)  yang tadinya harusnya  IPS kurikulum lama  bisa satu kelas dengan anak IPA, karena belajar soal Lingkungan Hidup atau Biologi.  Sementara anak yang harusnya IPA menurut kurikulum lama bisa satu kelas dengan saya di Antropologi.  Teman-temannya pun berganti-ganti. Tidak ada geng-gengan IPAdan IPS lagi.
Menurut pengamat pendidikan Indra Charismiadji, Kurikulum Merdeka itu sudah biasa dilakukan di Amerika Serikat atau di negara Eropa dalam tayangan podcastnya.
Tetapi saya bayangkan bagaimana kalau itu sudah berjalan seratus persen. Apakah infrastruktur sekolah di Indonesia, Jakarta atau kota seperti Bandung dan Yogyakarta yang relatif kota pendidikan bisa menjalankannya? Â