Bacaan yang ditawarkan mempunyai judul yang spektakuler seperti "Tjinta Segitiga" "Tjinta Segilima", "Tante Girang", "Crossmama", "Om Senang". Wilson mengaku ada pemuda menawarkan bacaan itu kepadanya dengan menyebutnya sebagai "Hiburan Corak Baru". Bahkan menurut pengamatannya mereka yang melahap bacaan itu bukanlah book minded. Â Namun mereka mau membaca komik dan novel tersebut yang berjilid-jilid. Â
Wilson mengkritis bahwa para remaja menggemari buku-buku yang  oleh pengarangnya ditulis "Bacaan untuk Orang Dewasa". Istilah yang membuat penasaran orang dan pasti ingin membelinya, terutama kalangan remaja dan anak. Yang membuatnya heran,  pada waktu itu masyarakat di kota bahkan rela membeli tiket bioskop yang lebih mahal dibanding buku bagus yang harganya lebih murah. Â
Bagaimana sikap pemerintah? Pada 1 Mei 1969 Pejabat Wali Kota Bandung Hidajat Sukarmidjaja , DPRD Bandung dan penerbit di kota itu mengadakan pertemuan tentang inflasi komik dan "bacaan dewasa" tersebut  yang dinilai sebagi kemerosotan moral. Seperti dilansir Pikiran Rakjat edisi 2 Mei 1969, dalam pertemuan itu  dari "hati ke hati" itu pemerintah pengertian para penerbit amatir  untuk turut bertanggungjawab terhadap keselamatan generasi bangsa.
Sementara menanggapi isu kemerosotan moral di kalangan anak muda di kota kembang itu,  Ketua Umum Youth  Centre Djabar Hidajat Padmadinata mengatakan bahwa muda-mudi di Kota Bandung keadaannya lebih baik dibandingkan pemuda-pemudi kota besar lainnya.  Hidajat menuding pemerintah hanya melakukan lip service untuk mengarahkan para remaja dan pemuda untuk melakukan hal kreatif.
Dia mencontohkan belum ada gedung untuk pemuda untuk menyalurkan ekspresinya. Semetara biang keladi skandal justru orang yang sudah dewasa dan bergelimang dalam kemewahan. "Muda-mudi kita hanya korban dari berapa hal jeleknya kondisi sosial politik dan sosial ekonomi," katanya kepada Pikiran Rakjat 3 Mei 1969.
Beberapa hari kemudian  Pd Wali Kota Bandung Hidajat Sukarmidjaja meminta seluruh masyarakat harus bertanggungjawab atas kemerosotan moral  dan memberikan pembinaan kepada pemuda dan pemudi.  Namun belum ada pernyataan dari pemerintah kota apa yang mereka sendiri perbuat.Â
Pemerintah kota tidak menyadari saluran kalangan muda di kota Bandung untuk menyalurkan stress  makin berkurang. Pikiran Rakjat edisi 8 Mei 1969 menyorot bahwa Situ Aksan yang merupakan ikon rekreasi kota 1950-an  dan sejumlah taman praktis tidak berfungsi lagi. Satu-satunya tempat untuk anak muda  melepaskan kepanatannya adalah bioskop dan beberapa hotel yang menyediakan acara bebas.  Rekreasi di luar kota seperti Tangkubanparahu dan Maribaya membutuhkan ongkos yang lebih besar.
Apa yang terjadi di Bandung pada 1969 tampaknya mengawali fenomena perubahan gaya hidup yang sedang terjadi di kota-kota besar Indonesia yang akan memuncak pada paruh pertama dekade 1970-an dengan semakin boomingnya majalah hiburan populer. Mode-mode pakaian pengaruh dari Barat juga mulai deras masuk. Â Ibaratnya setelah arus budaya dari Barat dibelenggu oleh politik Sukarno pada masa demokrasi terpimpin kini menjadi bebas diadopsi kalangan muda. Â Bandung seperti halnya Indonesia memasuki era baru. Â
Kalangan pemerintah umumnya yang masih sibuk dengan trauma gerakan September 1965 dan pengadilan terhadap tokoh-tokohnya masih berlangsung. Headline surat kabar menambahnya dengan berita penumpasan terhadap PGRS/Paraku di Kalimantan. Belum lagi persoalan beras dan gula. Â Sementara berita luar negeri berkisar soal Perang Vietnam dan pemberontakan di Pakistan Timur. Â Hingga tidak terlalu banyak perhatian terhadap perubahan yang terjadi di kalangan generasi baru yang belum lahir pada masa Revolusi Kemerdekaan.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H