Selama berkunjung ke Perpustakaan Nasional sejak 1992 hingga saat ini, saya kerap memfotokopi atau mencatat dengan tangan naskah dari koran dan majalah tempo dulu yang umumnya lokal di antaranya Poso di Propivinsi Sulawesi Tengah. Bahan dari perpustakaan nasional dilengkapi oleh buku Propinsi Sulawesi Tengah terbitan Kemeterian Penerangan 1953 dan beberapa majalah zaman Belanda 1920-an.
Sebagai catatan pada 1950-an PP No.33/1952 membagi daerah swantara Sulawesi Tengah menjadi dua kabupaten, yaitu Donggala dengan pusatnya Palu, serta Kabupaten Poso.
Tulisan  tentang Poso ini melengkapi tulisan sebelumnya tentang Suluwesi Tengah bertajuk: Insiden Indonesia Raya di Banggai https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/54f3a7e67455137b2b6c7d3b/insiden-indonesia-raya-di-banggai-sulawesi-tengah-1933
Salah satu tulisan yang saya temukan ialah dua laporan  dari wartawan Antara M.A Kamah  pada 19 Juli 1954 bertajuk "Daerah  Utuh"  menyebutkan sebagian besar  Poso masih tertutup hutan yang belum banyak dimasuki manusia.Â
Menurut Kamah, pada awal 1950-an Kabupaten  Poso dengan luas 36.518 kilometer persegi hanya mempunyai penduduk sekira 250 ribu. Daerah ini dihuni oleh beragam suku, seperti  Suku Pomona, Mori, Kaili, Bungku, Kaili, Saluan, Togean, Banggai, Badam Lorem Wana, Sea-sea dan Badjo.
Kelompok zending Kristen yang dipelopori oleh Albertus Christiaan Kruyt dan Nicholas Andriani membuat  sebagian besar suku-suku sudah maju peradabannya seperti Mori, Wana Lore, Pomana, Bada.
Itu sebabnya sekolah-sekolah yang baik bangunannya bukan terdapat di Kota Poso, tetapi di pusat zending, yaitu tak jauh dari dekat Danau Poso.
Pengaruh missionaris terhadap  pengembangan pedalaman Poso terungkap dalam sebuah laporan dalam  Het Penningske 1 April  1923. Laporan  itu mengungkapkan tentang pembangunan sebuah rumah sakit  baru di Tentena di tepi Sungai Possi di kaki pegunungan pada Agustus 1922.
Disebutkan missionaris setempat dipimpin Ny. Schuyt juga  menceritakan tiga rumah yang diperuntukkan bagi tenaga perawat.  Sementara Het Penningske  1 Juli 1927 mengungkan pembangunan Jalan Posso-Tentena  yang bisa dilalui mobil dengan teratur.
Sejarah mencatat kelompok zending ini mencegah tindakan kekerasan yang berlebih yang dilakukan tentara Belanda menghadapi perlawanan atau ketidaksukaan berbagai suku di daerah itu. Â Beberapa di antara suku itu hidup dengan tradisi meramu dalam hutan dan Pemerintah Kolonial ingin mereka ditundukkan dengan aturan modern.