Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Backpacker Itu Turis Berkualitas, Nusantara Maupun Mancanegara

16 Maret 2024   15:38 Diperbarui: 16 Maret 2024   22:58 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekalipun sudah menjalani perjalanan Backpacker sejak 2010, aku  baru paham apa  itu  turis backpacker pada 6 Mei 2014. Ketika itu saya menginap di hotel backpackeran di kawasan Pasir Kaliki, Bandung. 

Penginapan backpacker ini   menggunakan sistem dormitory di mana satu kamar terdiri  beberapa tempat tidur tingkat dan dihuni  6-8 turis bahkan lebih. 

Tarifnya hanya Rp100 ribu  per malam  waktu itu dan setiap tamu  dapat jatah makan pagi dua kerat roti, telur atau meises serta segelas kopi atau teh yang bisa diambil dan dimasak sendiri.  Tamu backpacker merasa seperti di rumah sendiri.

Sejak itu  saya menyadari bahwa jadi turis backpacker menyenangkan, bahkan bisa membina persahabatan. Misalnya pada 6 Mei itu,  saya dapat kenalan namanya Tiffany Zeena, turis asal  Kinibalu, Malaysia yang menabung untuk bisa berkeliling Bandung. 

Dia tidak sekadar jalan-jalan, tetapi juga belajar tentang Bandung, bukan saja destinasi wisata alam tetapi juga berbelanja di Cihampelas.

Tiffany memilih menyewa mobil orang milik usaha rental di Bandung untuk berkeliling sehari-hari termasuk ketika mengunjungi  kawasan Kawah Putih.

Dari sana aku paham sejatinya backpacker, wisata dengan budget yang tidak besar, tetapi efesien. Memilih penginapan seharga Rp100-Rp150 ribu karena hanya untuk tidur, sisanya peliseran dan berburu kuliner murah, tetapi khas kota itu.

Saya dan dua tamu di Hotel Backpackeran, Tiffany Zeena kanan 6 Mei 2014back. Foto: Irvan Sjafari
Saya dan dua tamu di Hotel Backpackeran, Tiffany Zeena kanan 6 Mei 2014back. Foto: Irvan Sjafari

Mulai 2014 itu, saya selalu menginap di penginapan  backpackeran dan selalu menemukan turis asing berkualitas dari Jerman, Belanda, Jepang hingga Amerika Latin.  Bahkan ada yang tinggal bulanan.

Yang dapat uang dari turis backpacker baik dari mancanegara maupun nusantara adalah usaha kecil langsung.  Mereka seperti saya beli oleh-oleh baik kerajinan maupun kuliner  juga UKM  khas setempat.

Naik Kendaraan Umum Tambah Ilmu

Saya menggunakan strategi yang digunakan senior saya jurnalis dari sebuah media terkemuka di Indonesia, bahwa kalau jalan-jalan itu naik kendaraan umum untuk dapat informasi kulineran dan segala macam.  

Berbekal ilmu itu saya ke Tasikmalaya pada Mei itu 2014 juga dan mendapatkan banyak hal hanya dalam  dua hari, mulai kuliner, UKM kerajinan sepatu hingga bordiran  plus  Kampung Naga.

Dengan naik kendaraan umum itu dan mencoba makan kaki lima lebih banyak pengetahuan yang saya dapat.

Misalnya saya tahu bahwa mi kocok di Tasikmalaya kuahnya lebih kental dibanding mi kocok Bandung.   Saya pertama kali kenal nasi tugtug khas Tasikmalaya  yang kemudian jadi  salah satu kuliner favorit saya di Jakarta, sekalipun rasanya tidak seenak di Tasikmalaya.

Ketika di Kampung Naga saya bertemu backpacker lainnya dari Prancis yang sedang melakukan pemotretan untuk sebuah proyek.

Ketika naik kendaraan umum itu-selalu memilih di samping Pak Sopir. Di Bandung,  saya malah dilindungi kalau ada copet bahkan ditunggu ketika turun untuk berbelanja. Di situ saya paham bahwa masyarakat setempat kecil bila komunikasinya enak bisa menjadi  sahabat wisatawan.

Pernah saya alami waktu turun dari Lembang naik angkot, macet di Setiabudhi, mobil plat B di belakang klaksonnya kencang sekali.  Akhirnya saya turun memperingati mobil itu bahwa jalan memang macet dan kembali ke angkot.  Jadi yang tidak berkualitas yang mana? Yang bermobil atau yang di angkot?    

Ketika ke Yogyakarta Agustus 2014, aku bertemu lebih banyak turis asing backpacker di kawasan Malioboro dari berbagai bangsa dan menginap di penginapan murah khusus untuk turis backpackeran.  Aku berkenalan dengan Jeniffer dan Celine, turis Prancis  ketika sedang sama-sama menikmati wedang jahe di kaki lima.

Jennifer dan Celine-Foto: Irvan Sjafari
Jennifer dan Celine-Foto: Irvan Sjafari

Dari informasi yang aku dapat para turis mancanegara  itu memilih menghemat budget di penginapan, namun uang lainnya dihabiskan untuk ke Kraton, Taman Sari, telusur Malioboro melihat Candi Borobudur, Prambanan.

Sementara saya menghabiskan untuk mencicipi kulineran yang khas di sana tentu saja gudeg Malioboro, namun ada yang tidak ada di Jakarta seperti Jejamuran di luar kota. 

Untuk transportasi seperti halnya di Bandung, saya memilih naik kendaraan umum.  Dari sopir bus saya tahu bahwa saya harus kembali ke Kota Yogyakarta sebelum jam sembilan malam dan itu saya lakukan. 

Interaksi dengan kendaraan umum memang agak berkurang dengan adanya ojek atau taksi daring, terutama pasca pandemi.  Tetapi  bukan alasan   mengurangi interaksi dan mengorek informasi terutama . 

Waktu berwisata di Malang dan Batu September 2023 strategi ini tetap saya pakai.  Hemat budget di penginapan dan kuliner yang sedapat mungkin makan kuliner rakyat, seperti sego empog, rujak cingur, tahu campur.   Dengan budget yang terbatas saya pakai untuk mengunjungi Jatim Park III, Kota Batu hingga ke Panderman.   Saya bahkan masih menyempatkan diri berinteraksi dengan warga setempat.

Backpacker  Justru Menghargai Kearifan Lokal

Kembali  ke pertanyaannya apakah Backpacker seperti kami tidak termasuk turis berkualitas?  Setahu saya, para backpacker itu setidaknya yang bertemu saya, lebih tahu sopan santun, menghargai kearifan lokal, mau belajar soal sosial dan budaya dan ramah lingkungan.   Mereka pakai tumbler ke mana-mana. Mereka tidak membuang sampah sembarangan.

Saya tidak pernah kehilangan barang di loker bahkan hape, hingga celana dengan dompet  ditinggal di tempat tidur juga tidak pernah hilang kalau menginap di hotel khusus backpacker.  Ada backpacker bawa laptop ditinggal saja di kamar yang dihuni ramai-ramai dan tidak ada tangan jahil.   Kamar asrama di mana turisnya campuran berbagai bangsa.  Mereka menghormati privasi. 

Saya juga dapat info komunitas backpacker punya jaringan dan mereka bisa menginap di rumah sesama backpacker berbeda bangsa.  Jadi misalnya backpacker asal Belanda bisa menginap di kenalannya backpacker yang tinggal di Jakarta, nanti gantian ketika backpacker Jakarta ingin ke Amsterdam bisa menginap di sana.

Saya jadi mempertanyakan apakah yang dimaksud  turis berkualitas ditujukan kepada mereka hanya mereka yang berkantung tebal?

Menurut Elok  Dyah Messwati, Founder Backpacker Dunia, yang disebut backpacker itu  itu jalan-jalan irit biaya.  Jadi tidak nyambung dengan turisme berkualitas kalau kalau kualitasnya dinilai dengan uang yang royal.

"Kalau bagiku jalan-jalan  berkualitas itu bukan soal mahal atau keluar uang banyak,  tapi bagaimana kita menghabiskan  waktu dan uang di sebuah lokasi kota atau negara,  dengan waktu yang cukup lama," ujar Elok ketika saya hubungi lewat WA 15 Maret 2024.

Dengan waktu yang cukup lama seorang backpacker  bisa mengenal lokasi itu lebih baik,  bisa berkomunikasi dengan orang lokal,  menjalin pertemanan,  mengenal budaya dan bahasa setempat.  "Itu kriteria jalan-jalan berkualitas menurut aku. Bukan soal nginap di hotel bintang lima  atau cuma nongkrong di kafe-kafe mahal,"  tambah Elok.

Sementara Alley dari Jejak Backpacker mengungkapkan hal senada.  Kecil kemungkinan  backpacker dari Indonesia melakukan perbuatan  yang tidak baik, seperti mabuk-mabukan di tempat wisata.

"Percaya deh sama saya backpacker dari indonesia masih dipandang baik oleh orang-orang," ujar Alley melalui WA, 16 Maret 2024.

Menurut Alley justru adanya backpacker baik di dalam maupun di luar negeri membantu usaha lokal membeli barang dan merchandise, terutama di tempat yang lokal benar. Backpacker belajar adat dan budaya lokal dengan baik,

Definisi Turis Berkualitas Harus  Diperluas

Founder & Chairman MarkPlus Tourism  Hermawan Kartajaya pernah  mengatakan, quality tourism memang dibutuhkan dalam sebuah pariwisata. Namun, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan Kemenparekraf jika ingin mencapai pariwisata yang berkualitas, salah satunya ialah dengan memperluas definisi quality tourism.

"Pemerintah selalu menggadang-gadang untuk meningkatkan kualitas ketimbang kuantitas. Tapi, saya tidak setuju kalau kualitas itu hanya dilihat dari penerimaan devisa negara. Definisi seperti itu yang harus diperluas," ungkap Hermawan seperti dikutip dari venue Magazine daring. 

Turisme berkualitas kata Hermawan, dapat dilihat dari kunjungan wisatawan domestik. Belum lagi ditambah dengan tren staycation yang saat ini sedang gencar dilakukan oleh banyak masyarakat. 

Yang dimaksud  staycation  liburan di sekitar area tempat tinggal, atau bisa dikatakan sebagai turis di kota sendiri.

Hermawan mempertanyakan mengapa pemerintah tidak melihat turisme domestik? Padahal mereka juga menjanjikan untuk pariwisata Indonesia.

Jonas Martini jurnalis di DW dalam sebuah laporannya pada 29 Agustus 2023 mengungkapkan pandangan guru besar ekonomi pariwisata  di Universitas Ludwig Maximilian di Munich, Jerman  Jrgen Schmude bahwa pariwisata kelas atas harus dibayar mahal. 

Di sebagian besar destinasi, katanya, pariwisata berkualitas tinggi disamakan dengan tingkat pendapatan tertentu yang dihasilkan per wisatawan.

Namun, memusatkan perhatian pada jenis pariwisata ini berisiko menjadikan perjalanan sebagai urusan elitis yang hanya mampu dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu, ia memperingatkan.

Schmude mencontohkan menaikan biaya di  sektor wisata tertentu, seperti liburan ski, perkembangan ini telah mendorong justru banyak masyarakat awam keluar dari pasar tersebut.

Sementara Christian Tnzler dari agen pemasaran kota VisitBerlin mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu, penduduk Berlin semakin jengkel dengan pariwisata massal.

Tnzler menyampaikan jika ingin pariwisata berkelanjutan, tambahnya, pariwisata harus menyeimbangkan kebutuhan wisatawan dan penduduk lokal.

Warga biasa juga mendapat keuntungan dari wisatawan yang menghabiskan uang di kota.   Sementara dia berharap wisatawan tidak akan menaikkan biaya hidup di kota.

Selain itu, terdapat rencana untuk membuat penawaran wisata sesuai dengan standar kualitas tertentu dan jejak karbon pariwisata harus diminimalkan sebaik mungkin.

Berbagai macam alat kini tersedia untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah aplikasi "Going Local" dari VisitBerlin yang memungkinkan wisatawan menemukan wisata di luar jalur, jauh dari tempat wisata yang paling banyak dikunjungi di kota tersebut.

Hal ini diharapkan dapat mencegah wisatawan berbondong-bondong datang ke lokasi yang sama dan malah menyebar ke seluruh kota.

 Aplikasi ini menargetkan pengunjung yang memiliki minat tulus terhadap Berlin dan benar-benar ingin mengenal kota tersebut.

"Dan itu tidak berarti liburan menjadi lebih mahal," kata Tnzler.

Dia  menambahkan bahwa strategi mereka dalam mempromosikan pariwisata berkualitas tinggi tidak berarti pengunjung harus terdorong untuk membayar layanan kelas atas.

Sebetulnya strategi ini ditiru di Bali agar wisatawan tidak menumpuk di beberapa titik wisata, tetapi tersebar ke seluruh penjuru pulau. Hingga bukan hanya wisatawan berkantong tebal yang bisa menikmati Bali, tetapi juga wisatawan backpacker yang budgetnya pas-pasan.

Apakah Turis Berkantong Tebal Bermanfaat bagi Rakyat Kecil?

Pertanyaannya kalau wisatawan yang berkantong tebal atau premium diutamakan apakah mereka bermanfaat bagi pedagang kecil, kerajinan, kuliner atau pakaian? Jangan-jangan berbelanja juga di tempat mewah?

Lalu bagaimana nasib homestay atau hotel backpackeran yang justru dikelola oleh masyarakat lokal? Bagaimana nasib kuliner kelas menengah bawah dengan harga ekonomis  yang justru dihidupi oleh turis backpacker?

Kalau ada turis asing yang berkelakukan tidak sesuai norma Indonesia mabuk-mabukan, buang sampah sembarangan, hidup menggelendang, patut dipertanyakan apakah mereka benaran backpacker atau lebih tepat begpacker?  Buat penelitian mereka datang dari negara mana? Khususnya untuk Bali.

Mengapa tidak ditegakkan saja regulasi yang tegas daripada memilih turis seperti di Singapura, orang membuang sampah dihukum denda keras?

Michael Chesny, Bule Kanada yang puluhan tahun menetap di Seraya, Karangasem, Bali beberapa tahun lalu mengingatkan wacana pemerintah pusat menjaring wisatawan berkelas daripada turis backpacker adalah rencana tidak tepat.

Menurut Chesny kepada JPPN , justru para turis backpacker lah yang mempromosikan Bali sejak 1970-an.  Pemerintah Indonesia tidak bisa memandang turis backapacker hanya dari kemasan.

Backpacker hanya gaya travelling saja dan datang dari semua kalangan miskin hingga kaya dan mereka menjaga kebersihan.  Chesny membenarkan justru pedagang kecil yang merasakan manfaat backpacker.  

Pertanyaan lainnya  apakah turis-turis mancanegara berkantung tebal itu mau datang ke Indonesia? Lalu infrastrukturnya siap nggak? Lalu keikutsertaan masyarakat lokal di tempat premium itu seperti apa?

Mana yang lebih menyerapkan tenaga kerja dan bermanfaat bagi rakyat kecil lebih besar mana  mass tourism di mana ada backpacker  atau quality turism?

Jangan sampai seperti  ungkapan mengharapkan burung terbang di langit, punai di tangan justru dilepaskan.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun