Dia  menambahkan bahwa strategi mereka dalam mempromosikan pariwisata berkualitas tinggi tidak berarti pengunjung harus terdorong untuk membayar layanan kelas atas.
Sebetulnya strategi ini ditiru di Bali agar wisatawan tidak menumpuk di beberapa titik wisata, tetapi tersebar ke seluruh penjuru pulau. Hingga bukan hanya wisatawan berkantong tebal yang bisa menikmati Bali, tetapi juga wisatawan backpacker yang budgetnya pas-pasan.
Apakah Turis Berkantong Tebal Bermanfaat bagi Rakyat Kecil?
Pertanyaannya kalau wisatawan yang berkantong tebal atau premium diutamakan apakah mereka bermanfaat bagi pedagang kecil, kerajinan, kuliner atau pakaian? Jangan-jangan berbelanja juga di tempat mewah?
Lalu bagaimana nasib homestay atau hotel backpackeran yang justru dikelola oleh masyarakat lokal? Bagaimana nasib kuliner kelas menengah bawah dengan harga ekonomis  yang justru dihidupi oleh turis backpacker?
Kalau ada turis asing yang berkelakukan tidak sesuai norma Indonesia mabuk-mabukan, buang sampah sembarangan, hidup menggelendang, patut dipertanyakan apakah mereka benaran backpacker atau lebih tepat begpacker? Â Buat penelitian mereka datang dari negara mana? Khususnya untuk Bali.
Mengapa tidak ditegakkan saja regulasi yang tegas daripada memilih turis seperti di Singapura, orang membuang sampah dihukum denda keras?
Michael Chesny, Bule Kanada yang puluhan tahun menetap di Seraya, Karangasem, Bali beberapa tahun lalu mengingatkan wacana pemerintah pusat menjaring wisatawan berkelas daripada turis backpacker adalah rencana tidak tepat.
Menurut Chesny kepada JPPN , justru para turis backpacker lah yang mempromosikan Bali sejak 1970-an. Â Pemerintah Indonesia tidak bisa memandang turis backapacker hanya dari kemasan.
Backpacker hanya gaya travelling saja dan datang dari semua kalangan miskin hingga kaya dan mereka menjaga kebersihan. Â Chesny membenarkan justru pedagang kecil yang merasakan manfaat backpacker. Â
Pertanyaan lainnya  apakah turis-turis mancanegara berkantung tebal itu mau datang ke Indonesia? Lalu infrastrukturnya siap nggak? Lalu keikutsertaan masyarakat lokal di tempat premium itu seperti apa?