Sementara saya menghabiskan untuk mencicipi kulineran yang khas di sana tentu saja gudeg Malioboro, namun ada yang tidak ada di Jakarta seperti Jejamuran di luar kota.
Untuk transportasi seperti halnya di Bandung, saya memilih naik kendaraan umum. Dari sopir bus saya tahu bahwa saya harus kembali ke Kota Yogyakarta sebelum jam sembilan malam dan itu saya lakukan.
Interaksi dengan kendaraan umum memang agak berkurang dengan adanya ojek atau taksi daring, terutama pasca pandemi. Tetapi bukan alasan mengurangi interaksi dan mengorek informasi terutama .
Waktu berwisata di Malang dan Batu September 2023 strategi ini tetap saya pakai. Hemat budget di penginapan dan kuliner yang sedapat mungkin makan kuliner rakyat, seperti sego empog, rujak cingur, tahu campur. Dengan budget yang terbatas saya pakai untuk mengunjungi Jatim Park III, Kota Batu hingga ke Panderman. Saya bahkan masih menyempatkan diri berinteraksi dengan warga setempat.
Backpacker Justru Menghargai Kearifan Lokal
Kembali ke pertanyaannya apakah Backpacker seperti kami tidak termasuk turis berkualitas? Setahu saya, para backpacker itu setidaknya yang bertemu saya, lebih tahu sopan santun, menghargai kearifan lokal, mau belajar soal sosial dan budaya dan ramah lingkungan. Mereka pakai tumbler ke mana-mana. Mereka tidak membuang sampah sembarangan.
Saya tidak pernah kehilangan barang di loker bahkan hape, hingga celana dengan dompet ditinggal di tempat tidur juga tidak pernah hilang kalau menginap di hotel khusus backpacker. Ada backpacker bawa laptop ditinggal saja di kamar yang dihuni ramai-ramai dan tidak ada tangan jahil. Kamar asrama di mana turisnya campuran berbagai bangsa. Mereka menghormati privasi.
Saya juga dapat info komunitas backpacker punya jaringan dan mereka bisa menginap di rumah sesama backpacker berbeda bangsa. Jadi misalnya backpacker asal Belanda bisa menginap di kenalannya backpacker yang tinggal di Jakarta, nanti gantian ketika backpacker Jakarta ingin ke Amsterdam bisa menginap di sana.
Saya jadi mempertanyakan apakah yang dimaksud turis berkualitas ditujukan kepada mereka hanya mereka yang berkantung tebal?
Menurut Elok Dyah Messwati, Founder Backpacker Dunia, yang disebut backpacker itu itu jalan-jalan irit biaya. Jadi tidak nyambung dengan turisme berkualitas kalau kalau kualitasnya dinilai dengan uang yang royal.
"Kalau bagiku jalan-jalan berkualitas itu bukan soal mahal atau keluar uang banyak, tapi bagaimana kita menghabiskan waktu dan uang di sebuah lokasi kota atau negara, dengan waktu yang cukup lama," ujar Elok ketika saya hubungi lewat WA 15 Maret 2024.