Naik Kendaraan Umum Tambah Ilmu
Saya menggunakan strategi yang digunakan senior saya jurnalis dari sebuah media terkemuka di Indonesia, bahwa kalau jalan-jalan itu naik kendaraan umum untuk dapat informasi kulineran dan segala macam. Â
Berbekal ilmu itu saya ke Tasikmalaya pada Mei itu 2014 juga dan mendapatkan banyak hal hanya dalam  dua hari, mulai kuliner, UKM kerajinan sepatu hingga bordiran  plus  Kampung Naga.
Dengan naik kendaraan umum itu dan mencoba makan kaki lima lebih banyak pengetahuan yang saya dapat.
Misalnya saya tahu bahwa mi kocok di Tasikmalaya kuahnya lebih kental dibanding mi kocok Bandung.  Saya pertama kali kenal nasi tugtug khas Tasikmalaya  yang kemudian jadi  salah satu kuliner favorit saya di Jakarta, sekalipun rasanya tidak seenak di Tasikmalaya.
Ketika di Kampung Naga saya bertemu backpacker lainnya dari Prancis yang sedang melakukan pemotretan untuk sebuah proyek.
Ketika naik kendaraan umum itu-selalu memilih di samping Pak Sopir. Di Bandung,  saya malah dilindungi kalau ada copet bahkan ditunggu ketika turun untuk berbelanja. Di situ saya paham bahwa masyarakat setempat kecil bila komunikasinya enak bisa menjadi  sahabat wisatawan.
Pernah saya alami waktu turun dari Lembang naik angkot, macet di Setiabudhi, mobil plat B di belakang klaksonnya kencang sekali. Â Akhirnya saya turun memperingati mobil itu bahwa jalan memang macet dan kembali ke angkot. Â Jadi yang tidak berkualitas yang mana? Yang bermobil atau yang di angkot? Â Â
Ketika ke Yogyakarta Agustus 2014, aku bertemu lebih banyak turis asing backpacker di kawasan Malioboro dari berbagai bangsa dan menginap di penginapan murah khusus untuk turis backpackeran.  Aku berkenalan dengan Jeniffer dan Celine, turis Prancis  ketika sedang sama-sama menikmati wedang jahe di kaki lima.
Dari informasi yang aku dapat para turis mancanegara  itu memilih menghemat budget di penginapan, namun uang lainnya dihabiskan untuk ke Kraton, Taman Sari, telusur Malioboro melihat Candi Borobudur, Prambanan.