Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kendi Air Terakhir

5 Oktober 2023   12:23 Diperbarui: 5 Oktober 2023   13:10 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KIamat bagi aku bukan hanya kisah dalam kitab suci, tetapi realita. Bukan komet raksasa menghantam Bumi jutaan tahun yang menyebabkan punahnya dinosaurus menyebabkan kiamat bagi manusia, tetapi keserakahan manusia sendiri.

Beberapa puluh tahun silam para ahli sudah memperingatkan naiknya suhu Bumi 1,5 derajat celcius bisa mengakibatkan hal yang serius bagi perubahan iklim dan ternyata kenaikan suhu lebih dari itu. 

Pada waktu itu panas ekstrem menghancurkan hutan Kanada dengan luas melebihi negara Yunani dan hal yang sama juga terjadi pada sejumlah negara Eropa Selatan. Gelombang panas menyebabkan kematian ribuan manusia di berbagai balahan Bumi.

Pada bagian lain supertopan dan banjir bandang menghancurkan sejumlah wilayah di Bumi bahkan mengakibatkan korban ribuan jiwa.

Penyebabnya adalah kenaikan emisi karbon sebagai akibat bahan bakar fosil.  Demi mengejar target industri berbagai bidang, anjuran ilmuwan untuk menahan pemakaian bahan bakar fosil tidak dindahkan.

Demi target pendapatan juga perusakan hutan tetap terjadi demi komoditas sawit, batubara dan entah komoditas apalagi.  Saya paham kalau negara di selatan enggan memenuhi pemrintaan negara-negara di utara karena itu menghancurkan ekonomi mereka. Kait-mengait berbagai kepentingan membuat penyelamatan lingkungan hidup menjadi sulit.

"Enak saja, masyarakat di negara Anda ingin hidup enak dan nyaman, masyarakat kami tetap miskin. Sementara emisi karbon dari kalian membuat masyarakat miskin menderita. Kalau mau sama-sama nggak enak dan turunkan gaya hidup kalian! Berikan sebagian kemakmuran kalian kepada negara-negara yang tidak beruntung!" sengit Muhammad Hamdan, mantan senator sahabat saya pada waktu itu.  Dia beruntung sudah meninggal dan tidak mengalami ancaman kepunahan.

Kalimat itu masih tergiang di telinga saya sambil berjalan tertatih-tatih menuju kampung Ngaglik, Batu.  Saya bersyukur mobil pickup tua yang dikemudikan kawan saya mampu tiba di pinggir kota ini. Sebelum kehabisan bahan bakar.  Kebetulan dia sendiri mau pulang kampungnya di Sumberejo.

Joko Satrijo, demikian nama sahabat  aku itu, ingin melewatkan musibah ini di tengah keluarganya. Kami berdua menyadari hanya belas kasihan Tuhan yang menyelamatkan umat manusia.

Lalu kami menurunkan sepeda kami masing-masing dari bak belakang.  Hari masih jam enam pagi, panas menyergap.  Kami masing-masing membawa satu peti besar di belakang masing-masing berisi enam kendi air bersih. Lalu kami sendiri membawa satu tumbler berisi air minum yang masih hidup. Sepanjang perjalanan tadi kami sudah menghabiskan satu tumbler air.

"Saya masih ingat sepuluh tahunan lalu bertemu Rindu, aktivis lingkungan pembela mata air di Bandung. Dia bilang pada masa mendatang air murni lebih berharga daripada emas dan minyak," ujar saya.

"Kita beruntung mendapatkan air ini dari sahabatmu di mata air murni yang tersisa di Bandung, sebelum tempat itu dirampas oleh orang-orang kaya dengan tukang pukulnya," ucap dia.

Otoritas yang adil di seluruh dunia sudah runtuh akibat perubahan iklim. Yang berkuasa adalah oligarki-oligarki yang bisa memerintah entah sampai kapan sebelum daya tahan masyarakat habis untuk membuat kehidupan menjadi lebih kejam.

"Sampai seberapa lama mata air tersisa itu berlangsung," sahut saya.

"Keluargamu yang di Bandung sudah kau berikan air?"

"Sudah. Separuh dari kendi yang saya dapat untuk mereka dan separuh lagi untuk Khalimah dan keluarganya. Anaknya Fardhan seminggu lalu WA saya bahwa pemukiman mereka krisis air," kata saya.

"Weleeh! Kamu mau menempuh ribuan kilometer untuk memberikan hal paling berharga di muka Bumi ini untuk dia dan anaknya. Kamu mencintai janda itu sekalipun dia tidak membalas cintamu? Apa yang kamu dapat?"

Saya tidak menjawab. Mungkin itu yang dinamakan cinta. Lalu mulai mengayuh sepeda perlahan diikuti oleh Joko Satrijo.  Kami melewati kawasan kebun apel yang daun-daunnya merangas seperti pepohonan di pinggir jalan.  Tak ada mobil yang berseliweran di jalan. Hanya mobil milik orang kaya masih lalu lalang entah sampai kapan.

Air sebetulnya masih berlimpah, tetapi sudah tercemar.  Sungai Brantas seperti sungai-sungai lain tercemar mikroplastik dan limbah, imbas dari perbuatan manusia di masa lalu. Ikan-ikan yang dimakan manusia mengandung mikroplastik yang sudah membawa penyakit kanker dalam ribuan kasus.

Sejumlah spesies serangga di antaranya lebah sudah punah, penyerbukan tanaman pun terganggu. Entah berapa serangga lainnya.  Yang tinggal tawon penyengat ganas yang sedang bertahan hidup. Juga semut-semut yang melahap apa saja yang mereka dapat dengan buas. 

Sering ada laporan piring berisi nasi dan lauk yang ditinggal sebentar sudah dikerubuti semut. Tikus-tikus juga semakin berani adu nyawa untuk merebut makanan manusia, begitu juga kucing. Sisa spesies yang masih ada mematuhi Survival of the Fittest dari Charles Darwin.

Orangutan entah tinggal berapa, keberlangsungan sejumlah tanaman di Kalimantan terancam. Harimau Sumatera semakin menipis karena mereka sudah memangsa ternak di pemukiman manusia yang tersisa.

Di persimpangan jalan, saya berpisah dengan Joko.  Saya tiba di Ngaglik pukul tujuh pagi.  Khalimah dan ibunya yang renta terperanjat ketika saya datang.  Fardhan anak yang kini sedang memasuki usia remaja itu keluar rumah.

"Saya yang WA Om ini. Terima kasih Om," ucapnya.

Lalu dia membantu saya menurunkan kendi air demi kendi air.  Untuk minum keluarga kecil itu entah sampai kapan bisa bertahan.  Untuk mandi mereka masih bisa memakai air yang tercemar dengan saringan ketat, itu pun makin kotor.

"Terima kasih," ucap Khalimah sambil menunduk. Entah apa yang dipikirkannya, terserah dia. 

Saya menatap mata indah yang membuat saya jatuh hati.  Lalu tanpa banyak berkata,   saya  berlalu dengan sepeda untuk kembali pulang ke Bandung entah dengan  sisa satu tumbler air tersisa. Setidaknya sudah berbuat untuk orang-orang saya cintai baik di Bandung maupun di Batu ini.

Perubahan iklim bukan satu-satu petaka yang dihadapi manusia saat ini, tetapi wabah penyakit seperti TBC, yang sudah kebal obat antibiotika lebih menakutkan daripada Covid-19.

Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan manusia tersisa dari kepunahan. Walaupun saya tidak tahu apakah saya termasuk yang punah di perjalanan atau masih diperkenankan hidup untuk tiba di Bandung. Saya ikhlas untuk itu. 

Irvan Sjafari 

Alumni Jurusan Sejarah  FIB UI.  Jurnalis dengan bidang minat Lingkungan Hidup, Pariwisata dan Budaya

Dokpri
Dokpri

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun