KIamat bagi aku bukan hanya kisah dalam kitab suci, tetapi realita. Bukan komet raksasa menghantam Bumi jutaan tahun yang menyebabkan punahnya dinosaurus menyebabkan kiamat bagi manusia, tetapi keserakahan manusia sendiri.
Beberapa puluh tahun silam para ahli sudah memperingatkan naiknya suhu Bumi 1,5 derajat celcius bisa mengakibatkan hal yang serius bagi perubahan iklim dan ternyata kenaikan suhu lebih dari itu.Â
Pada waktu itu panas ekstrem menghancurkan hutan Kanada dengan luas melebihi negara Yunani dan hal yang sama juga terjadi pada sejumlah negara Eropa Selatan. Gelombang panas menyebabkan kematian ribuan manusia di berbagai balahan Bumi.
Pada bagian lain supertopan dan banjir bandang menghancurkan sejumlah wilayah di Bumi bahkan mengakibatkan korban ribuan jiwa.
Penyebabnya adalah kenaikan emisi karbon sebagai akibat bahan bakar fosil. Â Demi mengejar target industri berbagai bidang, anjuran ilmuwan untuk menahan pemakaian bahan bakar fosil tidak dindahkan.
Demi target pendapatan juga perusakan hutan tetap terjadi demi komoditas sawit, batubara dan entah komoditas apalagi. Â Saya paham kalau negara di selatan enggan memenuhi pemrintaan negara-negara di utara karena itu menghancurkan ekonomi mereka. Kait-mengait berbagai kepentingan membuat penyelamatan lingkungan hidup menjadi sulit.
"Enak saja, masyarakat di negara Anda ingin hidup enak dan nyaman, masyarakat kami tetap miskin. Sementara emisi karbon dari kalian membuat masyarakat miskin menderita. Kalau mau sama-sama nggak enak dan turunkan gaya hidup kalian! Berikan sebagian kemakmuran kalian kepada negara-negara yang tidak beruntung!" sengit Muhammad Hamdan, mantan senator sahabat saya pada waktu itu. Â Dia beruntung sudah meninggal dan tidak mengalami ancaman kepunahan.
Kalimat itu masih tergiang di telinga saya sambil berjalan tertatih-tatih menuju kampung Ngaglik, Batu. Â Saya bersyukur mobil pickup tua yang dikemudikan kawan saya mampu tiba di pinggir kota ini. Sebelum kehabisan bahan bakar. Â Kebetulan dia sendiri mau pulang kampungnya di Sumberejo.
Joko Satrijo, demikian nama sahabat  aku itu, ingin melewatkan musibah ini di tengah keluarganya. Kami berdua menyadari hanya belas kasihan Tuhan yang menyelamatkan umat manusia.
Lalu kami menurunkan sepeda kami masing-masing dari bak belakang. Â Hari masih jam enam pagi, panas menyergap. Â Kami masing-masing membawa satu peti besar di belakang masing-masing berisi enam kendi air bersih. Lalu kami sendiri membawa satu tumbler berisi air minum yang masih hidup. Sepanjang perjalanan tadi kami sudah menghabiskan satu tumbler air.