Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Petualangan Manuk Dadali (9, Di Negeri Siren)

6 Mei 2022   11:28 Diperbarui: 6 Mei 2022   11:32 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sembilan: Di Negeri Siren

Hiyang menampakan diri berenang menyelamatkan serdadu Nusantara yang tidak terlindung siren.  Entah berapa lama mereka berenang.  Mahluk hijau dengan tinggi tiga meter dengan tiga tanduk itu bisa mengangkut tiga manusia sekaligus.

Di Gugusan Karang QQ,  rombongan Raya dan Swart berpisah.  Swart asyik bercumbu dengan siren. Begitu juga anak buahnya yang dibawa siren ke bagian lain negeri itu. Mereka tak sadar sebetulnya tawanan dalam bentuk lain.

"Kerja mereka seks, seks dan seks. Untuk itu keduanya akan dibiarkan hidup dan jadi budak seks di tempat ini," ujar seorang Siren menyambut Sono. Rupanya punggawa Ratu

Dia menampakan dirinya sebagai manusia agar Sono dan kawan-kawannya nyaman.  Aurora memeluknya. "Bibi!"

"Apa kabar Sono!" tanya Widi yang hadir sebagai panitya sambutan. "Kalian mengeringkan pakaian dulu. Hipotermia nanti. Walau kalian bisa bernafas karena gelembung yang diberikan siren."

Mereka menelusuri pulau itu dengan tanaman yang tidak lazim ditemui di  Koloni Nusantara.

"Buahnya boleh dimakan kok, nggak beracun. Sono tahu," kata Widi.

"Ciuman maut siren," ucap Kapten Daud masih belum hilang rasa terkejutnya, kagum sekaligus takut.

"Kelihatan surga bagi mereka. Karena dilayani ribuan siren yang bisa berganti rupa perempuan sesusia selera mereka, " sahut Widi.

"Ada yang bisa bebas seperti Sono?" tanya Daud.

"Iya, kalau siren mau dijadikan pasangannya. Minat? Pasangan resmi akan dijadikan warga seperti Sono dan hidup bebas seperti masyarakat siren. Tapi untuk itu mereka selektif."

"Wah, kau sudah jadi jubir mereka!" celetuk Raya.

"Lah sudah diterima permintaan suaka politik," jawab Widi renyah.

Seorang remaja mengunyah buah berwarna kuning. Rasaya manis gurih.  Rupanya dia lapar. Diikuti teman-temannya.

"Semacam sukun di tempat kalian!" kata siren yang menjadi saudara istri Sono. "Banyak karbohidratnya."

Mereka kemudian dibawa ke dalam sebuah bangunan di mana tinggal sejumlah manusia.  Di situ ada Lusy Mulia manusia yang juga terdampar di sana. Ada Bobby Firmansyah yang juga salah satu suami siren.

"Mereka yang manusia dan anak-anak tinggal di sini. Para sirennya di bawah laut, nanti kita ke sana kalau kalian sudah berpakaian. Tenang ada gelembung yang lebih besar untuk melindungi kalian dari tekanan air,"  terang Widi. "Kau pasti ingat Sono?"

Sono mengangguk. "Ada pakaian untuk kita di dalam!"

Ada 300-an manusia di perkampungan itu mengkonsumsi buah dengan makanan laut dan ada tempat air tawar. Kebanyakan laki-laki dewasa, ya suami para siren itu. Yang anak-anak separuh manusia ada yang perempuan dan yang laki-laki. Aurora bergembira bertemu temannya.

Perkampungan tersembunyi. Karena warga di sana juga tidak ingin ditemukan. Lagipula kawasan itu melewati daerah yang  kerap dilanda badai.  Hingga jarang yang bisa mencapai. Banyak kapal terdampar.  Nah, sebagian yang terdampar ini yang jadi suami siren.

"Siren itu jahat nggak?" tanya seorang remaja dari Mahameru kepada Widi.

"Nggak lah dik, kalau jahat kalian tidak akan hidup. Mereka tahu mana manusia yang baik dan mana manusia jahat?" Widi tertawa lebar.

"Lah, tentara asing itu bisa jadi baik?" tanyanya lagi polos.

Widi sebenarnya enggan menjawab. Sono minimpali,"Ya, bergantung mereka. Kalau baik, mereka gabung di sini. Kalau nggak , ya di sana...." Menunjuk bagian lain gugus karang tempat kumpeni yang tertawan dibawa siren sebagai pampasan perang.

"Oh oh," lalu remaja itu berlalu menyambar baju dan celana kering berikut celana dalam yang disediakan. 

Cynthia terperanjat, di sudut sana ada Micky sedang memangku seorang anak. Dia hampir tidak mengenal Cynthia. Dengan wajah judes, Cynthia menghampirinya. "Halo Micky, apa kabar? Cynthia mu mana?"

Micky terkejut, lalu dia tertawa. "Setidaknya Cynthia aku tidak berubah wajahnya! Tapi kamu juga masih cantik, kok?"

Cynthia tertawa. Dia memperhatikan anak laki-laki yang lucu itu.  Anak itu memperhatikannya."Seperti bunda, ya?"

Wajah Cynthia memerah.

                                                                                     ***

"Dari mana kalian dapat stok baju ini?" tanya Raya.

"Dari kapal terdampar, kadang juga orang sini menyelundupkan pakaian dari berbagai kota," jelas Widi.

Para tamu dijamu makan di aula bangunan itu, panganan khas Kepulauan QQ. Di antara sop QQ dengan kadar sepihan ikan.

"Ada kandungan QQ-nya?" tanya Raya.

"Aman, sekadar suwiran kecil dan kaldu hanya memberi tenaga baru.  Setelah makan kita ke bawah melihat negeri siren," kata Widi.

"Iya, paling usia kita muda sehari atau dua hari," kata Sono.

"Lalu tawanan orang asing itu dikasih makan apa?" tanya Raya.

"Iya, QQ-lah biar tetap awet muda. Dalam jangka waktu berapa bulan ingatannya akan terhapus dan bule-bule tadi hanya tahu mereka pelayan seks para siren," sahut Widi.

"Mereka tidak menyadari itu kan sama dengan mati?" sela Ciciek.

"Jadi definisi mati semakin meluas. Kalau dulu kematian batang otak. Kalau sekarang ditambah kematian eksistensi sebagai manusia," ujar Sono.

"Mengerikan," kata Cynthia.

"Para tawanan seks itu tidak ubahnya jadi binatang, hanya tahu makan dan seksual," tutur Widi renyah. "Siren itu tahu mana yang pantas diperlakukan sebagai manusia dan mana yang dijadikan budaknya."

"Lah, perempuan di sini jadi tamu?" tanya Robin.

Widi mengangguk.

"Greg pernah kemari?" tiba-tiba Raya bertanya.

"Iya, tanya saja sama para petinggi Siren. Dia sempat jadi tamu, sebelum perlu pergi ke Kejora, dia diculik dan dibunuh oleh Mujitaba, pimpinan Lanun Hitam,"  kata Widi. "Itu yang aku dengar dari siren. Ingat para siren bisa baca pikiran manusia.  Ada dari mereka yang menjadi saksi pembunuhan. Ada yang merekam pembunuhan itu  dengan  teknologi gelembung, nanti kita lihat!"

Raya hanya menangis. Robin dan Cynthia membiarkannya.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun