Jantra (Ridho R Falah) hanya bisa menatap brosur yang menawarkan hunian dengan bertajuk  Firdaus itu dengan wajah lesu.  "Atapnya tidak bocor, kamar mandinya bagus," katanya dengan getir.
Pekerjaannya sebagai buruh serabutan tidak memungkinkan dia mendapatkan rumah yang harganya ratusan juta rupiah. Â Jantra tinggal di sebuah dusun yang tak jauh dari hunian yang bisa dilihat dari atas bukit ketika dia hendak mencari rumput untuk kambing tetangganya.
Istrinya Lastri sudah meninggalkannya, karena pria ini tidak mampu membiayai rumah tangganya. Dia hanya bisa memberi makan anaknya Amar (M Rafli R Despian) Â nasi dengan lauk telur sudah mewah.
Adegan dalam film "Bungkeuleukan" karya Agung Jakarsih dari Bale Films sudah langsung mengantarkan penonton ke dalam masalah yang diangkat dari film ini yang memotret realitas yang relevan dengan saat ini dan sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Ada pembangunan fisik tetapi warga lokal tidak menikmati hasilnya. Yang ada hanya pendatang bukan saja  menikmati tetapi  menggerus tanah milik warga lokal dan kerap terjadi mereka terdepak atas nama pembangunan dan investasi. Â
Kembali ke film ini, Jantra mencari jalan keluarnya bukan dengan mencoba bekerja keras di bidang lain, tetapi "ngimpo" bahasa lokal menyebut judi togel. Â Keberhasilan Ketua RT-nya memenangkan togel dengan jalan persugihan mendorongnya melakukan hal yang sama.
Dia pun meminta bantuan sesepuh bernama Wak Ilyas  (Iwan Kurdiana) untuk melakukan persugihan. Namun yang terjadi bukannya berhasil memenangkan togel, tetapi Jantra justru menuai petaka.
Tinjauan
Saya akan berikan kelebihan film ini dulu. Â Pertama, film ini sarat dengan kritik sosial seperti yang saya sebut di atas. Dalam sebuah dialog antar tokohnya terungkap dugaan korupsi yang dilakukan oknum kepala desa, suatu hal yang banyak dikhawatirkan masa otonomi daerah hingga pemberian dana desa.
Film ini juga memotret gap generasi antara anak-anak "milenial" desa yang lebih suka musik  Barat yang hingar bingar daripada musik dangdut yang disukai orangtuanya yang diwakili oleh Marsudi. Namun yang lebih penting, film ini berpesan: pembangunan kerap mengabaikan kearifan lokal.Â
Sekalipun kritik disimbolkan dengan hal berbau klenik bahwa para mahluk gaib dipaksa pindah dari tempat yang dijadikan hunian ke hutan dan mereka kembali diganggu, misalnya  oleh para peminta togel. Â