"Ada berapa lahan yang kami kuasai, Â juga tanaman di atas gedung untuk sayuran dan ada kolam di berapa tempat tersembunyi."
"Berapa populasi Kabandungan?" tanya Ambu.
"Seribuan orang, sisa manusia yang tersisa, yang lain mungkin masih ada di tempat lain dan punya warlord sendiri, tetapi kita sulit kontak. Telekomunikasi mati," kata Faisal. "Listrik masih ada, dengan tenaga matahari, air kalau bukan musim kemarau dan sebagian lagi dengan tenaga sampah. Hanya cukup untuk seperlima kota."
"Bensin?"
"Langka. Â Orang asing itu menggunakan minyak sawit untuk menggerakan tank, tetapi lebih lamban dan kalau berhadapan dengan senjata seperti kalian, mudah dihancurkan."
Setelah makan kami berpisah. Mereka harus berpindah tempat, diputuskan kami ke kawasan ke Dago dulu.  Dari drone  kami tahu bahwa sisa pasukan Indrajaya  ada di sekitar Gedung Sate. Kami mengendarai jip dan motor terbang melewati bekas Jembatan Pasupati yang lenggang dan kusam, berapa bagian rusak.  Di tempat kami Preanger Satu tentunya lebih gemerlap.
Di atas jembatan berapa prajurit Indrajaya menembak dengan laser. Tentunya kami menghindari dan motor capung terbang Ira dan Mayang mudah melumpuhkan mereka dan sebuah kendaraan tua mereka terbakar.
"Ternyata masih ada bensin."
"Padahal listrik hanya sebagian jalan, kalian dengar cerita orang Kabandungan tadi? Mereka juga gunakan energi sampah dan baterai matahari walau generasi pertama, yang jauh di bawah kita," papar Ambu.
Purbasari masih terperangah. Dia juga takut melihat pertempuran itu. Â Namun dia senang melihat sebagian berkuda sudah datang di jembatan Pasupati dan melambaikan tangan kepada kami.