"Ingin tahu seperti apa kotanya? Besar?"
Gigin mengangguk. "Lebih besar dari ibu kota Pasir Batang. Ada penduduknya yang berbeda dengan kita di sini."
Kemudian Mamo muncul membawa drone. Dia memberikan gambar tiga dimensi  di tengah sidang. "Kalian harus lihat ini. Ini satu drone yang selamat. Yang satu lagi tampaknya ditembak hancur."
Gambar virtual muncul, walau hanya seitar tiga puluh detik, diambil dari atas, tampak bangunan yang tidak menyerupai  bangunan di Pasir Batang, bahkan mirip di Preanger Satu yang sebagian fotokopi Bandung.
"Ya, Tuhan! Â Ini kerja keturunan Sang Kuriang, Kapten Ginanjar dulu?" ucap Ira. "Itu yang aku dan teteh Mayang lihat dari kejauhan."
"Kalau itu kerjaan orang kita tidak akan sebesar ini dan bangunannya utuh!" terang Mamo.
"Kita nggak berada di masa lalu, tetapi di masa depan, ini Bandung beratus tahun setelah Bumi ramai-ramai ditinggal manusia," aku menduga pasrah. "Purbasari cerita bahwa, orang Pasir Batang asalnya dari sini. Dugaanku, mereka lari dari situ. Ada sesuatu yang terjadi seratus tahun lalu, pasca  perang besar di Bumi dan mereka mendirikan kerajaan dengan kembali ke masa nenek moyang mereka."
Purbasari hanya terdiam. "Kalau pun benar, nenek moyang kami ingin mengubur masa lalu!"
"Kita harus melihat sendiri, seperti apa kota itu kalau dugaan anjeun benar," Ira tidak mau kehilangan harapan bertemu keturunan anaknya, Kinanti.
Merebut  Kabandungan.                                     Â
Pagi hari, tiga hari setelah ibu kota kami kuasai, Â dewan istana gabungan orang-orang dari Preanger memutuskan untuk memasuki Kabandungan dengan tim kecil menggunakan dua jip terbang dan empat motor capung terbang. Â