Samuel meneropong dengan teleskop virtual tiga dimensi. "Waspada ada yang membawa semacam kendaraan dari besi walau hanya satu berbentuk gajah. Cukup besar dengan belalainya."
Waduh, jangan-jangan orang asing itu koloni manusia dari masa depan?
"Bilang pada Purbasari untuk menyerah  kepada Ratu Purbararang. Aku Panglima Pasir Batang Marcus Licinius Crassus murah hati hanya menjadikan pengikut sebagai budak. Kabarnya kalian sehat-sehat cukup kuat bekerja, terutama tamu mu yang hitam legam itu, orang primitif..."
"Ya, itu orang kulit putih yang menyebutku primitif," kata Samuel. "Bukankah dia yang primitif?"
Aku meminjam teropong.  Crasus naik kuda tingginya hampir dua meter. Dia bersenjata senapan pelontar api. Namanya seperti  nama Romawi. Pakaiannya gemerlap, dengan ditutup logam didadanya.  Dia pikir bisa menangkis high voltase dengan baju besi itu, malah mengantarkan listrik di tengah hujan.
Aku pernah baca nama Crassus di perpustakaan, Jenderal Romawi yang mengalahkan pemberontaan para budak, Spatarcus. Mungkin bukan nama sebenarnya. Tetapi dia pakai nama itu biar terdengar gagah dan menunjukan superioritasnya.
"Apa tamumu yang primitif itu ada di sana? Aku janji tidak akan membunuhnya, tetapi menjadikannya pembersih kandang kudaku!"
Kawan ini saya ini sabar. Jarinya sudah  tetap kukuh menahan menekan tombol untuk melepas tembakan.  Pertama kali seumur hidupnya dia mengalami perlakukan rasis yang tidak pernah terjadi di Titanium.
"Yang perempuan, pengikut Purbasari, kata Paduka Indrajaya boleh buat kami. Budak untuk tugas yang lain.....!" Dia berteriak kencang di tengah hujan, terdengarnya sayup.
Teriakan yang pongah terhenti ketika Ira meluncur dari atas dengan motor capungnya menembak high voltase dengan kencang. Kuda berikut Crassus hancur berantakan. Baju zirahnya pecah berkeping-keping. Ira gusar sekali dengan kalimat Crassus dia menembak dengan stelan maksimal.
"Ini jawaban perempuan!" teriak Ira, nyaring dan penuh kemarahan.