"Orang Pasir Batang semua?" tanya Purbasari khawatir.
"Orang asing, kebanyakan kulit putih. Orang bayaran Purbararang, karena pasukan Purbaendah tidak mau," sahut Gigin.
"Sikat! Aku jadi ingat orang Atlantis!" Seru Ira. "Kita ikut Mayang!"
"Siap!"
Hadirin setuju dan segera bubar. Samuel ditunjuk jadi panglima, dia membawa empat  prajurit dari Titanium, begitu juga aku. Teteh Ira dan Teteh Mayang juga ikut. Gigin ikut bersama dua puluh prajurit Purbasari yang sudah dilatih. Samuel juga menggerakan tiga robot anjing, dua motor capung terbang.
Sementara Serma Malik dan tiga prajurit  dan tiga puluh tentara Purbasari menjaga dusun. Ada tiga robot anjing dan dua motor capung siaga. Mamo dan Sisil diminta ikut menjaga dusun. Pertempuran di tengah hujan deras. Senjata High Voltase bisa berakibat fatal bagi lawan, tetapi juga kami sendiri kalau tidak hati-hati.
Pukul sepuluh pagi. Hujan deras masih turun ketika kami menuruni Gunung  Cupu Mandalayu, tiba di batas gunung hamparan huma jagung.  Samuel menyuruh kami berkelompok tiga-tiga memakai perlindungan batu yang sudah disusun sejak lama di atas ketinggian hingga  sepuluh meter di atas hamparan huma.
Kami semua menggunakan jas hujan yang sudah dibawa dari Titanium dan kami buat juga dari bahan yang ada di Bumi  untuk tentara Purbasari.  Sepuluh prajurit Purbasari memakai High Voltase dan yang lain memakai panah. Dedi Cumi sudah mempersiapkan cadangan senjata rupanya.
Sementara Ira dan Mayang di motor capung terbang siap melayang.Â
Dari kejauhan tentara asing itu datang. Jumlahnya sekitar seratus orang, separuh menggunakan senjata yang mungin pelontar api. Aku tidak pernah melihatnya bekerja kecuali dari cerita teteh Mayang dan teteh Ira. Separuh menggunakan panah dan tombak.