Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (6)

18 September 2020   18:18 Diperbarui: 18 September 2020   18:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ENAM                                                                                   

Sudah enam bulan  aku berada di Cupu Mandalayu. Tidak ada tanda-tanda gangguan dari Rezim Purbararang.  Mungkin orang Kabandung melakukan perlawanan dengan gigih. Mereka lari ke kulon tetapi kemudian kembali menyerang secara bergeriliya. Mereka punya jenderal yang hebat.  Pasukan Purbararang walau didukung dengan pasukan bangsa lain, tetapi belum sanggup menghadapinya.

Aneh, bagi  Purbararang dan Indrajaya kehilangan belasan pengawal tidak berarti.  Mereka mungkin menganggap kepungan cukup membuat ratusan pengikut Purbasari kelaparan.  Tetapi ternyata tidak,  bekal yang aku bawa bukan saja bibit padi, tetapi bibit sayuran, singkong dan ubi jalar, tumbuh lebih cepat. Aku juga mengajarkan mereka budi daya memelihara ikan di tambak. 

Padi yang kami tanam di huma siap dipanen hari ini. Bibit hasil budi daya orang Titanium sudah jauh lebih maju.  Belum lagi tanah di Bumi yang masih asli membuat pertumbuhan lebih cepat.  Panen berlimpah. Penduduk dari wilayah lain banyak berlindung di wilayah kami, membuat  daerah ini makmur.  Tetapi itu orang Pasir Batang punya kearifan lokal lain.

Padi yang sudah dipanen disimpan di lumbung, yang aku baru tahu namanya leuit.  Aku baru tahu leuit tak kalah dari gudang di Titanium, leuit  mampu menyimpan gabah, yang sebetulnya bangunannya berbentuk leuit juga hanya lebih besar dan panjang, dari batu dan kayu.

Hebatnya, leuit  tradisional memiliki kemampuan tahan cuaca, tahan hama penyakit, dan memiliki sistem tata udara yang baik sehingga gabah kering dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Atapnya berbentuk lancip agar air hujan langsung jatuh ke tanah dan tidak membuat padi jadi lembab karena bocor. Atap ijuknya rapat. Kami di Preanger juga membuat begitu, hanya bukan ijuk, tetapi atap kayu dengan serat tanaman yang ada di Titanium. Tetapi logikanya sama.

Hal itu terjadi karena bentuk bangunannya panggung, karena ada sirkulasi udara di bawahnya. Ada celah-celah yang menghangatnya. Aku menduga bentuk kolong agar tidak diganggu oleh hama, seperti babi hutan.  Aku tidak pernah melihat perburuan babi hutan di Titanium, tetapi di  Cupu Mandalayu pernah terjadi, tetapi hanya diusir.

Aku juga paham mengapa koloni kami juga menggunakan rumah panggung pada sebagian bangunan terutama untuk pemukiman, bukan saja antisipasi bolo, tetapi juga kemungkinan mahluk buas lainnya di planet asing.  Para pionir di Preanger menggabungkan kearifan lokal dengan pengetahuan modern.

Tikus? Tidak terjadi wilayah kerajinan Pasir Batang, sebab mereka tidak memburu ular sawah. Keseimbangan ekosistem dijaga.  Namun tutur  Purbasari, dua tahun terakhir ini hutan mulai dijarah demi kepentingan orang asing itu atas nama pembangunan. Mereka menanam sawit?

Aneh dari bangsa mana pada zaman ini sudah mengenal sawit. Telik sandi melaporan mereka membuat semacam minyak. Aneh, belum zamannya sudah  menggunakan minyak goreng? Apa aku yang kurang baca orang zaman dahulu juga mengenal sawit. Belakangan mereka membuatnya untuk bahan bakar kendaraan protipe sedang dibuat.

Bisa jadi tamasya waktu antar planet membuat para petualang dari koloni manusia masa depan yang tersebar di sekian planet mengacak-ngacak  zaman dengan risiko mereka bisa membuat dimensi pararel.  Kalau tidak malah mengancam eksistensi peradaban ke depannya termasuk mereka sendiri.  Tetapi aku masih di sini berarti, bisa jadi terputus zaman ini dan zaman manusia memulai lagi.

Kalau begitu bukankah masa depan adalah bagian dari sejarah? Pusing aku memikirannya. Aku pernah ajak Purbasari berdiskusi soal. Dia hanya menggeleng. "Dasar orang kahyangan, yang aku pikirkan hutan rusak, Kang!" cetusnya.

Prubasari benar. Harimau masuk kampung menyergap ternak. Prajurit Pasir Batang membunuh harimau dengan kejam dengan senjata api. Itu laporan dari Telik Sandi. Hal yang harusnya terjadi pada masa depan. Pernah harimau masuk kampung ini, aku halau dengan senjata high voltase. Harimau cukup takut.

Solusi akhirnya aku temukan. Babi hutan yang tersasar masuk kami tangkap dan dilepas di lingkungan hutan untuk makanan harimau.  Sejak itu harimau tidak pernah masuk lagi.

                                                                                         

Ilustrasi-Foto: Kekunoan.com
Ilustrasi-Foto: Kekunoan.com
Bulu di tubuhku sudah lebat. Tetapi  tidak tumbuh lagi seolah terhenti. Itu sejak dua bulan lalu. Bintik-bintik hitam di wajah Purbasari juga terhenti. Mungkin efek racun dari Nyi Ronde sudah maksimal, seperti halnya reaksi alergiku.  Pesona kecantikannya belum memudar.

Aku tidak memperdulikan lagi bisa kembali ke Titanium atau tidak.  Sepertinya sudah bahagia bisa mendampingi Purbasari.  Dia juga tidak memperdulikan Purbararang. Yang tidak setuju pindah ke tempat dia dan hidup berkecukupan.  Sayangnya, kami tidak bisa berhubungan dengan wilayah lain karena terkepung.  Mungkin itu juga sebab, kami dianggap belum menjadi ancaman.

Sore ini aku duduk dengan Purbasari di tepi dangau menghadap huma yang luas.  Aku sudah ingin menyatakan perasaan kasihku yang meluap-luap padanya.  Tetapi aku menahan diri.

"Sebetulnya aku tidak keberatan menyerahkan tahtaku kepada kakakku Purbararang, jika dia meminta baik-baik.  Walau itu pesan ayahku."

"Di mana ayahmu sekarang?"

"Meninggal dalam pertapaan dalam keadaan sedih. Setahun setelah Purbararang merebut kekuasaan," jawabnya.

"Di istana masih ada pengikut ayahmu?"

"Patih Uwak Barata dan sebetulnya Aki Panyumpit.  Mereka sebetulnya menentang Purbararang, tetapi terikat sumpah menjaga Pasir Batang yang sudah terlanjur berperang dengan kerajaan sekitarnya akibat ulang Indrajaya kekasih Purbararang."

Bagi keduanya "right or wrong is my country". Mungkin mereka keberatan kalau tenaga mereka digunakan untuk menyerang Cupu Mandalayu. Kalau negeri lain, mau saja. Termasuk ketika meringkus aku.

Sama dengan alasan Teteh Mayang dan Teteh Ira, serta orang Titanium membela Sang Kuriang melawan orang Atlantis. Membela tanah moyang, asal kami dari penjajahan. Tetapi Sang Kuriang belum menjadi ditaktor.

"Dari mana asal Indrajaya itu?" tanyaku.

"Dari negeri luar. Kakanda lihat sendiri kan kulitnya putih, perawakannya lebih besar dari rata-rata warga Pasir Batang. "

"Juga Nyi Ronde?"

"Aku malah tidak tahu dari mana orang yang mengaku tabib itu. Dia juga dari luar seperti Indrajaya, namun dari bangsa lain."

"Apa pandangan Purbararang tentang negeri Pasir Batang, dia maunya apa?"

"Purbararang ingin membawa Pasir Batang menjadi negara besar, punya armada perang, ingin menaklukan negeri lain di bawah lingkup pemerintahannya.  Dia ingin menciptakan Pasir Batang Raya berpuluh kali lipat luasnya. Pengaruh Indrajaya mendorongnya membuat peralatan perang untuk kebutuhan itu. Nantinya negeri yang ditaklukan membayarkan hasil buminya untuk kemakmuran Pasir Batang."

"Mengapa tidak kerja sama saja? Itu kan penjajahan?"

"Bagi Purbararang bukan penjajahan tetapi takdir Pasir Batang sebagai negeri yang dipertuan."

Imprealisme? Bukankah itu Fasisme? Macam-macam saja.  Sumber sejarah di perpustakaan virtual Titanium cerita soal Hitler dengan ruang hidupnya serta Jepang dengan Asia Timur Raya-nya. Itu jauh dari masa ini.  Juga penjajahan Barat. Tetapi bukan Romawi, Persia, mungkin juga kerjaan-kerajaan Nusantara dulu imprealisme? Bukankah Sriwijaya dan Majapahit melakukan ekspansi atas nama persatuan nusantara, tetapi juga dengan militer? Bukankah itu imprealisme juga? Beda dengan pembentukan Indonesia atas kesepakatan semua daerah dan itu butuh proses panjang.

Tetapi kalau aku berpikir, mungkinkah naluri kelam manusia memang begitu suka mengeksploitasi sesamanya? Bukankah orang Romawi mengenal perbudakan, mengambil orang dari negeri yang ditaklukan jadi budak?  Aku masih ingat Purbaendah menjadikan tawanananya sebagai budaknya.

"Bagaimana dengan Purbaendah dan Purbamenik yang ada di pihak Purbararang?"

"Kalau Purbamenik memang dekat dengan Purbararang. Dia disayang. Purbamanik itu manja. Dikasih wilayah malah lebih banyak di istana Pasir Batang. Pemerintahannya dijalankannya patihnya bernama Prakasa. Untung orangnya cakap memerintah.

Lain halnya dengan Purbaendah suka menyendiri, terutama setelah benda dari langit itu ditemukannya. Dia suka membawa sesuatu bercakap-cakap  di kamarnya dengan seseorang dengan benda itu. Padahal tidak orang?"

Benda apakah itu? Purbaendah mengingatkan pada Bagus kawan sekamarku. Tetapi perempuan itu sepertinya lebih gila pada benda.

"Kak Purbaendah kerap bicara soal surga di langit, tempat para hiyang katanya sudah dihuni manusia. Dia ingin ke sana," tutur Purbasari.

Aku tersentak. Apa iya, Purbaendah tahu soal keberadaan koloni manusia di planet lain. Tetapi bukankah ada beberapa koloni manusia yang tersebar di sejumlah planet pasca runtuhnya peradaban manusia di Bumi?

Purbaendah mengira surga itu hanya ada di kahyangan. Bukankah surga, kalau yang dimaksud kemakmuran, masyarakat tidak berkekurangan bisa diciptakan di Bumi? Itu hanya soal tekad dan kerja keras saja.  Bukankah yang sekarang terhampar di Cupu Mandalayu sudah bisa berkecukupan? Tidak ada perkelahian memperebutkan pangan atau harta di sini.  Itu kesan aku dari cerita Purbasari.

Teknologi kalau dimanfaatkan dengan baik bisa meniadakan konflik, karena sumber daya yang diperebutkan bisa diperoleh semua orang.  Aku yakin kalau kebutuhan dasar semua manusia terpenuhi maka konflik atas nama apa pun bisa diminimalisir.

"Bagi aku surga itu sudah ada di Cupu Mandalayu. Ini yang aku inginkan untuk Negeri Pasir Batang. Negeri yang mencukupi kebutuhan sendiri.  Kalau berlebih bisa membantu negeri lain," papar dia. "Terima kasih Kakang Guru Minda atas bantuannya."

Pagi tadi Rakyat Cupu Mandalayu merayakan Sera Taon.  Kami berpesta dengan bersahaja. Mungkin orang Pasir Batang tahu, tetapi tidak menganggu. Sampai saat ini.

Bintik-bintik hitam itu sudah mengering. Namun belum sukar dihilangkan, seperti menetap.  Aku mencoba menyentuh bintik hitam itu. Purbasari menatapku, namun membiarkannya.

"Kak Purbararang yang mengoles semacam ramuan yang katanya untuk menambah kecantikan. Ternyata tidak. Belakangan aku tahu ramuan itu dari Nyi Ronde."

Perempuan ini sevisi dengan diriku.  Tekadku ingin tinggal di Bumi semakin kuat. Aku ingin mendampingi Purbasari walau kematian yang aku dapat.

"Abdi Bogoh ka anjeun!" aku memegang tangan Purbasari, tak bisa menahan diri lagi.

Purbasari menatap mataku. Aku takut ditampar. Tetapi akhirnya dia mengangguk. Kami sudah jadi sepasang kekasih.

"Sudah tahu Kang, dari awal pertemuan kita."

                                                                                                                                    ****

                                                                            

Lebih dari enam bulan di Cupu Mandalayu membuat aku kerasan.  Warga dusun bahkan membuatkan aku bangunan rumah panggung untuk salat.  Hebatnya mereka bisa membuat bangunan  dengan mihrab menghadap ke Barat.  Mungkin mereka memperhatikan aku.

Mulanya hanya aku yang salat.  Tetapi ada beberapa pendatang lain juga ikut salat. Mereka bilang pengungsi dari Kabandungan. Mungkin yang mengajarkan orang-orang keturunan Kapten Ginanjar, Harun entah siapa, tetapi aku menduga dari Titanium.

Mungkin juga keturunan mereka. Ada sekitar sepuluhan. Mereka saya tanya dari mana belajar salat. Katanya banyak orang di Kabandungan sudah begitu dan mereka diajarkan turun-temurun.

Apakah perjalanan menembus waktu bisa memungkinkan hal ini? Padahal peradaban Islam saja belum lahir.  Bisa jadi juga sejarah sudah berubah dan aku berada di dimensi pararel? Bisa jadi Bumi yang dikunjungi Teteh Mayang dulu adalah Bumi pararel?  Pening memikirkannya. 

Kenyataannya tatanan yang diciptakan Purbasari tak jauh beda dengan yang ada di Titanium, harmonis dan tidak saling menganggu. Aku heran dari mana bisa digiring kemari oleh sebuah mimpi, siapakah yang memberikan mimpi gadis bernama Purbasari ke dalam otakku?

Teknologi transfer mimpi sudah bisa dilakukan di koloni manusia Planet Titanium sesuai dengan permintaan, pakai alat yang dimasukan ke indera. Hanya saja bahannya dari perpustakaan virtual, film, video yang bisa diedit. Fungsinya untuk meredam mereka yang stres atau depresi atau hanya mencari hiburan. 

Alat transfer mimpi itu tidak besar, karena bisa dimuat di setengah kepala manusia. Jadi ketika mau tidur tinggal ditempelkan dan tidak boleh terlalu lama. Kalau tidak kuat, bisa kacau. Hasilnya efektif, walau belum tentu mimpi itu, bahkan ada sebagian saja bercampur unsur lain.

Nah, kalau ini transfer mimpi, bagaimana caranya dunia seperti ini didapat di perpustakaan virtual, bukankah zaman ini belum ada teknologi video?  Lalu bagaimana mengirim gambarnya? Bisa jadi campur tangan mahluk alien  yang kami sebut  Hiyang itu.

Malas juga, memikirkannya, aku terlelap dalam mimpi yang indah. Aku telah menikahi Purbasari dengan upacara yang sederhana saja. Yang menyaksikan hanya orang-orang dekatnya. Walaupun kami tidak bisa bercampur, karena fisik tidak memungkinkan. Tetapi aku memilih jalan ini, dengan segala konsekuensinya.

Setelah pernikahan, rakyat Cupu Mandalayu menghormatiku.  Sebetulnya tak ubahnya seperti Indrajaya ketika menjadi tunangan Purbararang. Dia awalnya bersikap baik, santuan pada Tapa Agung dan juga pejabat, namun dia kemudian dia dominan.

Apalagi setelah Nyi Ronde datang dan meracuni Purbasari dan kemudian memfitnah sebagai terkutuk, karena melangkahi kakaknya. Namun pengikut Purbasari melawan dan akhirnya tersingkir.

Cerita itu kudengar sedikit demi sedikit. Suatu malam Purbasari cerita bahwa ia sebetulnya pernah melihat pemuda tampan dari langit entah bagaimana. Dia lupa. Waktu masih di istana, ciri-ciri fisiknya seperti diriku sebelum bulu keparat ini muncul.  Aneh, apa ini karena mahluk alien bernama Hiyang menjodohkan kami untuk tujuan tertentu.

Hiyang sudah lama tidak mengontak aku. Mungkin karena dia ingin aku kenal lebih dalam dengan Purbasari secara alamiah.  Aku belum tahu takdir apa yang menimpaku.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun