Pagi tadi Rakyat Cupu Mandalayu merayakan Sera Taon. Â Kami berpesta dengan bersahaja. Mungkin orang Pasir Batang tahu, tetapi tidak menganggu. Sampai saat ini.
Bintik-bintik hitam itu sudah mengering. Namun belum sukar dihilangkan, seperti menetap. Â Aku mencoba menyentuh bintik hitam itu. Purbasari menatapku, namun membiarkannya.
"Kak Purbararang yang mengoles semacam ramuan yang katanya untuk menambah kecantikan. Ternyata tidak. Belakangan aku tahu ramuan itu dari Nyi Ronde."
Perempuan ini sevisi dengan diriku. Â Tekadku ingin tinggal di Bumi semakin kuat. Aku ingin mendampingi Purbasari walau kematian yang aku dapat.
"Abdi Bogoh ka anjeun!" aku memegang tangan Purbasari, tak bisa menahan diri lagi.
Purbasari menatap mataku. Aku takut ditampar. Tetapi akhirnya dia mengangguk. Kami sudah jadi sepasang kekasih.
"Sudah tahu Kang, dari awal pertemuan kita."
                                                                  ****
                                      Â
Lebih dari enam bulan di Cupu Mandalayu membuat aku kerasan.  Warga dusun bahkan membuatkan aku bangunan rumah panggung untuk salat.  Hebatnya mereka bisa membuat bangunan  dengan mihrab menghadap ke Barat.  Mungkin mereka memperhatikan aku.
Mulanya hanya aku yang salat. Â Tetapi ada beberapa pendatang lain juga ikut salat. Mereka bilang pengungsi dari Kabandungan. Mungkin yang mengajarkan orang-orang keturunan Kapten Ginanjar, Harun entah siapa, tetapi aku menduga dari Titanium.