"Saha!" teriak Purbaendah.
Aku menampakan diri. "Lutung Kasarung datang!"
Seorang pengawal menembakan panah, tapi senjata high voltase ku lebih cepat. Aliran listrik membuat pengawal itu kejang-kejang dan pingsan.
Purbaendah, turun dari kudanya.
"Hey, Lutung ini ..." Dia mengeluarkan sesuatu berupa tongkat cambuk, ketika dihempas ke tanah ke arah diriku mengalirlah percikan api membakar tanaman jagung tempat aku berlindung tadi, sementara aku menghindar dan menembakan lagi senjata high voltase.
Ajaib Purbaendah menekan sebuah tombol di pinggangnya, semburan listriku mental. Dia punya perisai  yang mengelilingi tubuhnya. Sebaliknya justru pengawal yang lain tersengat hingga terlempar beberapa meter.
Lalu perisai itu hilang dan ganti dia mencambuk dan energi pukulannya kembali mengalirkan api menghancurkan kandang sapi.
Aku berkelit dan menembak lagi, tapi perisainya otomatis hidup.
Purbaendah menyadari ada lawan yang tangguh. Dia memberi isyarat agar pengawalnya mundur dan dia megendarai kuda dan kemudian melarikannya. Pengawal yang pingsan dibawa para pengawal yang lain.
Orang-orang kampung takjub melihat aku. Mereka menghampiri. Termasuk anak muda yang disebut Gigin.
"Hatur Nuwun Dewa..Sampunrasun!"