Kompas  menunjukan ada keramaian di pemukiman. Ada tanda diberi merah bawa sejumlah orang mempunyai senjata. Kemungkinan membahayakan. Anak gembala itu tidak mengikutiku, dia asyik dengan musik tiupnya dari bambu. Mungkin itu seruling.
Lalu mengendap ke balik rimbunan ladang jagung dan belakang kandang sapi mengintip ke arah lahan yang agak lapang. Di sana ada puluhan orang berlutut, ada yang bersimpuh menghadap delapan orang pria bersenjata tombak dan pedang. Ada dua berkuda, seorang di antaranya perempuan masih muda, berpakaian seperti Teteh Mayang ketika kembali ke Titanium.
"Upeti mana buat Ratu Purbararang?" teriak perempuan yang berkuda.
"Tak aya sekarang Den Purbaendah..." seorang tua "Kan urang sudah bayar minggu lalu."
"Ada pesta di istana, anjeun semua seratana sangu buat parayaan tilu taun (upeti buat perayaan tiga tahun) Purbarang bertahta. Juga untuk para prajurit," teriak perempuan yang disebut Purbaendah.
Pengawalnya menggeledah sebuah bangunan bambu, ternyata lumbung padi. Bentuk rumah-rumahnya mirip dengan yang ada di Titanium, tetapi tentunya sederhana. Bagaimana pun ini tanah moyangku. Entah aku ada di tahun berapa, tapi aku paham tak jauh dari zaman Teteh Mayang dulu mendarat.
Seorang pemuda mendorong pengawal itu ketika mengambil padi yang mungkin dianggapnya terlalu banyak.
"Urang henteu ngagaduhan nanaon (kami nggak punya apa-apa lagi)," pemuda itu kesal.
"Gigin, jangan...!" teriak orang tua itu.
Terlambat pengawal itu ditendangnya hingga jatuh terjengkang.
Tapi pengawal yang di sebelahnya menyabetkan pedangnya hingga tangannya terluka. Lalu pengawal itu mengangkat pedangnya akan menikamnya. Aku bereaksi menembakan senjata high voltase dengan setelan rendah, tepat di pedangnya, tapi hasilnya pengawal itu kejang-kejang, berjingrak, lalu pingsan.