TIGAÂ
Dengan menggunakan pakaian seragam awak pesawat, berupa jaket terbuat dari campuran benang yang tumbuh di Titanium dan kulit domba, serta katun membalut dari kaki hingga tangan, serta sepatu kulit tebal, aku keluar dari pesawat membawa ransel berisi pakaian kasual, makanan, serta kantung tidur.
Aku juga membawa senapan high voltase disandangkan dipunggung, kompas virtual yang mampu membaca medan hingga diameter tiga kilometer, termasuk juga suhu, serta kadar oksigen. Ternyata informasi menyatakan cukup dan memadai, hingga aku melepas helm. Tapi aku mengenakan topi kain tebal karena kompas virtual sudah memberikan tanda ada ular di atas pohon. Setelah semua terpetakan, aku lalu menuruni lerang. Pesawat aku kunci.
Satu kilometer ke barat akan menemukan pemukiman, sekitar setengah jam perjalanan. Kompas memberi tahu ada yang bergerak. Pukul empat sore, waktu Bumi. Aku pelajari lebih pendek, yaitu 24 jam. Â Aku juga bawa sandal gunung dengan alas tebal, kalau diperlukan.
Kompas memberi tahu ada kawanan kera di pohon. Mereka bergerombol di atas sejumlah dahan menyaksikan ada manusia berbulu selebat mereka.
"Anjeun lutung atau manusia lutung? Dari kahyangan? Kunaon ka Pasir Batang? Bade Angkat Kamana? (mau ke mana)" sapanya dengan gemetar.
Aku terbiasa dengan sebutan lutung. Kompas sudah memberi tahu anak usia sembilan tahun itu tidak bersenjata dan bukan ancaman.
"Bade Angkat Tas Ransel, barudak," jawabku seenaknya, sambil menahan geli.
Anak itu mulanya diam. Tapi akhirnya tertawa, ketika aku menoleh sambil tertawa dan menunjuk tas ransel.
"Abdi Lutung Kasarung, lutung kesasar.." sahutku.