Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung 1964, Dinamika Pariwisata dan Paradoks Tata Kota

15 November 2019   20:58 Diperbarui: 15 November 2019   21:04 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
iklan promosi pariwisata di Pikiran Rakjat-Foto: Irvan Sjafari.

Yang paling krusial ialah Kotapraja Bandung mengumumkan telah kehabisan alumunium sulfate untuk keperluan penjernihan air di Cisangkuy.  Dampaknya sekalipun tidak membahayakan kesehatan, tetapi air yang didapat warga Bandung tidak lagi jernih seperti sebelumnya.  

Wali Kota Bandung Prijatna Kusumah di depan Sidang Paripurna DPRD Kota Bandung mengatakan,  Pemerintah Kotapraja  berupaya masikmal memperoleh bahan baku tersebut.

"Kami membeli dari pasar bebas seharga Rp250 hingga Rp300, akhirnya persedian di pasar pun habis.  Juga pembelian indent dari PN Sinar Bhakti sampai tahun lalu meliputi 700 ton tidak bisa terlaksana, karena devizen tidak mengizinkan indent semacam itu," ungkap Prijatna (9).

Bantuan dari Departemen Perdagangan juga sudah memberikan bantuan sebesar 50 ton alumnium sulfate, namun tidak bisa diberikan lagi.  Wali kota bahkan meminta siapa saja warga Bandung atau Jawa Barat yang mempunyai alumunium sulfate untuk memberikan bantuannya.

Sebetulnya jurusan Plannologi sudah lima tahun dibuka di Kota Bandung. Seorang mahasiswa bernama Siti Sutriah Kadar dari IPMI Bandung menulis di Pikiran Rakjat 22 September 1964 tentang jurusan Planologi.  Dalam tulisannya dia mengungkapkan perkembangan kota Bandung.

Ungkap dia, Cijagra, Buahbatu,  dan sekitarnya sebelah selatan Bandung 10 tahun berselang masih merupakan sawah. Tapi sekarang penuh dengan toko-toko serta jalan-jalan, sedangkan perkembangannya mencapai titik akhir. Sayangnya warga kota masih menghadapi berbagai persoalan.

Seorang mahasiswa yang merantau dari kampung tidak bisa mendapat pemondokan atau kost di dekat kampusnya, karena mahal. Dia terpaksa kost di bagian perkampungan kota Bandung, menyewa rumah bersama kawan-kawannya.

Apa yang terjadi? Siang hari tidak bisa beristirahat karena bunyi radio dari tetangganya.  Malamnya tidak bisa belajar karena listriknya kecil. Mahasiswa miskin tidak bisa cuci mata malam hari, karena opelet dan kendaraan umum tidak jalan malam hari.  Hingga kalau pulang malam harus jalan kaki.  Dia juga menggunakan sepeda kalau hujan.

Sementara mahasiswa kaya punya mobil, bisa mengunjungi rumah teman perempuannya. Tetapi dia juga punya problem jalannya diputar-putar polisi,  menghadapi kemacetan, dan juga menghadapi pemadaman listrik.  

"Pembangunan kota bukan saja meletakan bangunan dalam kota dan membuat taman, tetapi  juga memberi kesejaterahan pada penghuninya," ujar Sutriah mengkritisi perkembangan kota Bandung waktu itu. Dia menyambut baik di jurusan Plannologi ITB diberikan pelajaran Sosiologi  dan ekonomi untuk calon perancang kota.  

Ibu saya, Anny Zulchatri yang pernah menjadi siswi SAA di Pasteur kemudian menjadi Asisten Apoteker di sebuah apotik di Wastu Kencana, Bandung juga cerita bahwa sepeda adalah alternatif transportasi. Pada pagi hari, kawan-kawannya suka mampir ke rumah kakaknya di Cicendo dan menitipkan sepeda.  Kemudian bersama jalan kaki ke Pasteur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun