Pada Oktober 1964, rombongan dari  Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran melakukan penjelajahan ke kawasan Baduy, Kabupaten Lebak.  Rombongan riset ini diketuai oleh Drs Singgih Wibisana dan Judistira K Garna disertai dosennya Drs Husein, Drs Said Raksakusumah, SA Basuki Sukanto yang mengasuh 24 mahasiswa dan lima mahasiswi tingkat sarjana muda. Rombongan membawa seorang tenaga medis dan Sekretaris Daerah Kotapraja Bandung  Kartiwa.
Rombongan mencapai Cikratrawana, daerah kedua Baduy Dalam setelah Cibeo. Â Mereka jalan kaki dimulai dari Leuwidamar, kemudian menelusuri Kali Cisimeut, mengarungi perbukitan, mendaki Gunung Kiaralawang, Gunung Kibadira dan Gunung Pangelaran, termasuk Leuweung Larangan.
Meskipun rombongan tidak berhasil mencapai daerah angker Cikeusik, karena Puun Cibeo tidak mengizinkannya, mengingat keadaan jalan dan suasana alam untuk bisa dilalui, mereka berhasil mengumpulkan data-data tentang keadaan sosial dan religi orang Baduy.
Tujuan riset ini resminya untuk memberikan konstribusi bagi "nation building", menamamkan rasa persatuan sesuai dengan anjuran Bung Karno. Â Namun bagi saya sendiri tujuh tulisan yang ditulis oleh wartawan Pikiran Rakjat bernama Bram MD pada Oktober 1964 mengungkapkan keadaan Masyarakat Baduy pada 1960-an, setelah tulisan saya tentang Sejarah Banten Selatan yang menyinggung masyakat ini era 1950-an (1).Â
Perbedaannya  dibandingkan era sepuluh tahun sebelumnya, perjalanan ini dilakukan setelah keadaan keamanan di Jawa Barat boleh dikatakan sudah pulih.  Untuk pertama kalinya mahasiswa yang hidup dengan kultur perkotaan modern  yang disebut Bram sebagai penuh kegemerlapan tiba-tiba saja berhadapan dengan alam serba ketabuan.
Laporan itu mengungkapkan orang Baduy adalah pelarian dari Kerajaan Padjadjaran Prabu Siliwangi yang tidak dapat menahan desakan kerajaan Islam (Banten). Ada juga versi orang dari Banten Utara yang melarikan diri. Namun Puun berkata kepada mahasiswa:
"Kami mah tibarang meletek-meletuknja oge ti Nabi Adam asalnja diturunkeun didieubae"
Nama Baduy sebetulnya nama pemberian Kolonial Belanda yang menyamakan suku ini dengan Badewi di Timur Tengah yang suka berpindah-pindah,. Masyarakat ini menamakan diri mereka orang Tangtu, Orang Rajawan, atau kadang menyebut dirinya Orang Kanekes.
Baduy Luar
Ketika kaki kami diinjakan ke tanah Leuwidamar, 20 kilometer dari Rangkasbitung, matahari sudah menunjukan seperempat busur pagi. Seorang penunjuk jalan menuding ke tepi langit selatan, nun di sana di barisan gunung ketiga bemukimlah Suku Baduy yang menjadi obyek riset.
Tergetar hati ini, kuatkah kaki ini  mencengkeram lerang ketiga gunung di sana itu? Tiba-tiba ada mahasiswi putri yang bersemangat bertolak mendahalui. Â