"Kalau kita diam saja melihat ketidakadilan di depan kita, maka kita bukan manusia lagi" quote dalam film "Gundala" versi Djoko Anwar
Saya mengenal komik Gundala, Godam, Sri Asih, Aquanus, Laba-laba Merah dari komik-komik yang dibelikan paman dan tante (kakak ibu saya) ketika berlibur ke Bandung bersama adik saya. Â Waktu itu kami masih duduk di bangku SD hingga awal SMP, antara tahun 1977-1980-an. Â Paman kerap mengajak berburu komik di kios-kios kawasan sekitar alun-alun barat masuk dari Oto Iskandar Di Nata.
Penggambaran karakter dalam komik-komik itu masih hitam-putih, para lawan-lawan super hero Indonesia itu ilmuwan jahat, pimpinan sindikat narkoba atau vilian yang ingin menguasai dunia. Waktu itu diterima saja oleh saya tanpa pertanyaan mengapa beliau-beliau itu sebegitu jahatnya dan berbuat keji, lalu buat markas canggih tetapi aparat keamanan Indonesia tidak tahu. Â Bagaimana para super hero itu bisa cari makan dan bertahan hidup. Â Bagaimana begitu mudah berpergian ke planet lain. Saya ingat lawan-lawan Gundala, seperti Pengkor, Ghazul, Ki Wilawuk, Bocah Atlantis.
Saya  juga sempat menonton film Gundala  produksi 1981. Sancaka (Sancoko)  dikisahkan sebagai insinyur elektro yang menemukan serum petir yang membuatnya tahan arus listrik dan pertemuannya dengan Dewa Petir membuatnya punya kekuatan super. Â
Penemuan lainnya serum anti candu membuatnya menjadi ancaman bagi Bos Sindikat Narkotika Internasional bernama Ghazul. Plotnya mirip film kriminal, Gazul menculik dosennya, kekasihnya. Gundala pun menggunakan kekuatan menumpas komplotan Gazul.  Hitam putih. Kalau plot diambil sekarang lebih mirip cerita FTV. Begitu juga teknologi filmnya jauh tertinggal. Saya waktu itu  menikmati.
Saya tidak berupaya mencari tahu siapa pengarangnya, yang penting menikmati membaca komik itu dan filmnya sebagai hiburan. Saya tahu pencipta Gundala adalah Hasmi, tetapi waktu itu saya tidak mencari tahu siapa dia. Â Sewaktu duduk di bangku SMA, saya tidak lagi membaca komik-komik itu. Sebagian rusak atau hilang, tetapi sebagian masih saya simpan.
Baru ketika selesai kuliah di Jurusan Sejarah baca buku Indonesianis asal Prancis Marcel Boneff dan berapa literatur lain,pada 1990-an yang menyebutkan sebetulnya para super hero Indoensia itu adaptasi dari super hero Amerika. Gundala adaptasi Flash, Aquanus adaptasi Aquaman, Sri Aasih adaptasi Wonder Woman, Godam adptasi Superman.Â
Hanya saja sebagian besar dikaitkan dengan mitologi Indonesia. Â Misalnya tokoh Ki Wilawuk lawannya Gundala, mistis. Â Gundala sendiri juga terainspirasi dengan Ki Ageng Sela yang bisa menangkap petir. Â Di sisi lain para superhero berurusan dengan mahluk planet lain yang notabene species manusia juga.
Gundala  Versi Djoko Anwar Tidak Hitam Putih
Kini Gundala dalam film besutan Djoko Anwar, saya menangkap penjelasan yang lebih rasional, lebih manusiawi dan tak satu pun karakternya yang hitam putih. Sancaka, sosok di balik Gundala mempunyai masa kanak-kanak yang kelam.Â
Ayahnya, buruh pabrik terbunuh dalam aksi demo menutut upah. Â Ibunya kemudian menghilang dan Sancaka (Muzakki Ramdhan) hidup sebatang kara menjadi anak jalanan, ditolong Awang, anak jalanan lain yang mengajarkannya ilmu bela diri yang akan menjadi bekal dia nanti.