Bangga, gembira dan penuh harapan pada  satu sisi dan pada sisi lain prihatin,  marah  dan khawatir. Demikian yang saya rasakan dan sekaligus sikap saya ketika pertama kali menumpang Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta pada Kamis 27 Maret 2019.Â
Dari stasiun Lebak Bulus MRT yang saya tumpangi berangkat pukul 11:21 dan tiba di Bundaran HI pukul 11:48. Â Berarti hanya 27 menit. Penjaga pintu masuk ke kereta api yang saya tanya tidak membual bahwa: Anda sampai paling lama 30 menit.Â
Bangga, akhirnya ada moda  transportasi yang nyaman, terkesan modern, cepat, sikap petuasnya ramah bahkan tingkat petugas kebersihan sekalipun mau membantu penumpang yang butuh inforasi.  Menurut beberapa penumpang yang saya ajak ngobrol dan berapa teman yang saya kontak menyebut belum menyamai Singapura, tetapi sudah mendekati.Â
"AC-nya sejuk, lebih baik dari kereta komuter dan TransJakarta. Tetapi memang harganya mahal untuk ukuran mereka yang bergaji UMP atau ASN yang menengah. Mungkin maksudnya agar para pemilik mobil yang naik moda ini" ujar  seorang ibu rumah dari Depok.
Novi, seorang eksekutif kantoran bahkan mengusulkan agar tarifnya lebih mahal agar penumpang jadi terseleksi dan tidak berjubel.  Mereka yang berpenghasilan tinggi  akan tertarik apabila yang naik adalah  yang satu "kelas" dari segi pendidikan dan kepatutan di publik, seperti di Singapura.
Awalnya saya menolak segragasi ini.  Karena yang butuh transportasi nyaman itu justru rakyat jelata. Orang yang berpenghasilan seperti saya hanya kalau perlu saja menggunakan MRT. Tetapi  ada Transjakarta yang lumayan, kereta komuter juga lumayan. Itu untuk mereka yang berpenghasilan tidak tinggi.
Kalau tidak saya salah menangkap, gagasannya adalah  MRT untuk para eksekutif dan orang-orang  berpenghasilan di atas Rp10 juta. Jumlah mobil akan berkurang karena akan diikuti kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) dan parkir mobil di kawasan Sudirman-Thamrin saat ini juga sudah mahal dan kemungkinan pajak juga naik.Â
Gembira.  Sekalipun saya hanya mampu beberapa kali sebulan dan kalau perlu saja naik MRT,tetapi  setidaknya ada "hiburan baru".  Memang sama dengan ibu-ibu yang bawa anak-anaknya sewaktu digratiskan.  Jumat 29 Maret 2019 dari HI saya jumpa seorang kakek berdiri menggendong cucunya dan saya juga ikut berdiri karena jam pulang kantor  penumpang penuh.
"Tidak  mengapa hanya 30 menit kan?" ucap kakek itu.
Linda, seorang rekan saya ketika diberikan gambar gerbong MRT yang tak ubahnya seperti kereta komuter di jam pulang, juga bilang: Di Singapura pada  waktu rush hour juga begitu. Iya, sih yang penting  tidak selama kereta komuter. Saya tidak yakin kalau tarif Rp14  ribu (maksimal) diterapkan  apakah sebanyak itu.  Â