Saya baca Pikiran Rakyat 26 Februari 2019 dan tulisan Himam Miladi dengan "Hari Dilan dan Taman Dilan", kira-kira isinya saja apakah memberikan manfaat mendorong saya untuk ikut memberikan komentar. Dua tulisan rencana Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil membangun Sudut Dilan di Kota Bandung di area GOR Saparua.
Kalau argumentasinya apakah kekurangan tokoh panutan lain? Mengapa tidak dengan tokoh budaya lain di mana generasi bisa mengambil hikmahnya seperti kata Pengamat Sosial dan Akademisi Universitas Pasundan Wim Tohari Tohari Daniealdi atau Himan mengusulkan Taman Fiksi juga tidak salah. Akomodasi saja, kan masih banyak tempat?
Saya kira pria yang karib dipanggil Kang Emil juga akan memperhatikan aspirasi itu di tempat lain dan dia sebagai pemimpin harus berlaku adil. Mantan Walikota Bandung ini juga berencana membangun 27 Pusat Budaya. Kita lihat saja nanti apakah hanya gembar-gembor atau akan direalisasikan?
Dalam tulisan ini, argumentasi Emil untuk memunculkan tokoh dari novel yang menjadi film dan sukses juga tidak salah. Dilan adalah "pop culture" yang harus diakui punya pengaruh pada era milenial ini, unik dan novel itu juga memberikan gambaran apa yang terjadi di Bandung awal 1990-an, real dan tidak mengada-ngada.Â
Saya juga teringat ketika Dewi "Dee" Lestari meluncurkan "Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh" juga mendatangkan kehebohan bahkan jadi diskusi dan wacana karena berkaitan dengan sains atau falsafah post modern. Dee memberikan momentum. Tapi momentum itu sebetulnya karena juga faktor dirinya seorang penyanyi.
Pidi Baiq juga seniman multi talenta, musisi, komikus, novelis dan juga dosen. Bedanya karakter Dilan dan Milea lebih membumi. Kedua tokoh ini warga Bandung kebanyakan dan mereka yang bersekolah di era 1990-an mengalami hal yang sebangun, terutama di Bandung. Bagi generasi milenial cara bertutur Dilan menjadikannya unik. Dilan seperti didukung dua generasi, generasi 1980-an dan1990-an dan generasi milenial.
Tapi Kang Emil kerap terlibat pada sejumlah produksi film yang syuting di Kota Bandung dan bukan hanya Dilan 1990 dan Dilan 1991. Mungkin cara terkait dengan industri kreatif yang menjadi salah satu fokusnya. Kang Emil juga mendukung Preman Pensiun.
Saya membayangkan daya tarik keberadaan Taman atau Sudut Dilan bagi wisatawan Nusantara yang datang ke Bandung untuk berswafoto, serupa dengan rumah tempat Syuting "Laskar Pelangi" di Belitung, juga karena novel Andrea Hirata dan difilmkan dengan sukses. Saya kira bisa bertahan lama. Dilan adalah ikon pop culture. Saya masih memahami.
Saya juga teringat Museum Nike Ardilla juga jadi kerap masih mendapat kunjungan dan Nike juga ikon musik dan pop culture. Bahkan menjadi bagian dari sejarah musik di kota ini. Keberadaan tempat-tempat ikonik ini memperkaya kota Bandung.
Dengan argumentasi di atas, saya termasuk yang mendukung rencana berdirinya Taman Dilan, kan hanya mengambil sudut kecil di areal GOR Saparua. Tidak lebay juga. Kalau ada tokoh lain yang patut jadi ikon dan berkaitan dengan Kota Bandung, ya mengapa juga tidak diakomodasi. Begitu juga dengan tempat lain di Jawa Barat.